Senin, 12 November 2012

Mutiara Hati


“Kak Rina, bangun... kita Shalat Subuh berjamaah, yuk.” Terdengar suara mungil memecahkan keheningan pagi.
            “Ahh... berisik banget! Lagi asik, tau!” dengus Rina kesal. Tetap dalam posisi tidur.
            Salwa, gadis kecil itu, menarik nafas panjang...
            “Yaaa... Kakak jangan gitu dong. Ini kan sudah pagi Kak. Kita harus shalat...” kata Salwa mengingatkan.
            Rina bangkit dari tidurnya. Wajahnya murka, lalu membentak keras, “Diaaaammmm!!!!” kemudian mearik selimutnya ketubuhnya dan kembali tidur.
            Salwa kaget, terdiam mematung. Namun hanya beberapa saat, terlihat samar-samar dari cahaya redup jendela yang sedikit disinari rembulan yang masih nampak, mulutnya bergerak pelan. Seolah melafadzkan kalimat istigfar. Kemudian beranjak menuju mushola. Langkahnya gontai, wajahnya tertunduk. Kecewa. Namun dia tetap berusaha untuk tegar, menguatkan hatinya. Walau ia tak kuasa untuk menahan beberapa tetes mutiara dari matanya itu disela-sela langkahnya.
            Selesai menunaikan Shalat Subuh, ia berdoa, “Ya Allah... ampunilah dosa Salwa dan dosa kedua orang tua Salwa... kasihanilah mereka... sebagaimana mereka telah mengasihi Salwa diwaktu Salwa masih kecil. Ya Allah... selamatkan dan lindungilah orang tua Salwa yang kini telah berada di tempat yang jauh, dekatkanlah selalu mereka di sisiMu ya Allah... sesungguhnya engkau Maha Mengetahui bahwa betawa Salwa mencintai Kak Rina... Salwa mohon kepadaMu ya Allah... Janganlah engkau memanggil  Kak Rina sebelum ia bertaubat. Berikanlah petunjuk bagi Kak Rina sebuah petunjuk yang mengarahkannya ke jalan yang lurus dan bukan ke jalan orang-orang yang Engkau murkai dan engkau sesatkan... amin..”
                                    ***
            Siang itu terik matahari begitu menyengat. Membuat orang-orang enggan beranjak dari tempat yang teduh. Tak terkecuali Rina yang sedang berada di kantin dan ditemani kedua sahabatnya, Siska dan Aisyah.
            “Uugh... gini hari panas banget, sih!” keluh Rina sambil menyeruput orange juice nya. Yang lain diam.
            “Eh, iya... gue liat, pas pelajaran Pak Tyson, lo bete amat. Kenapa?” tanya Siska tiba-tiba.
            Rina menoleh seakan melihat tempat yang tepat buat mengeluarkan semua unek-uneknya, “Abis... gimana gak bete, coba! Tesisnya itu lho, panjang bin lebar banget! Gue kan jadi susah menangkap inti pembicaraannya. Apalagi ngomongnya berbelit-belit juga!” cerocos Rina mangkel.
            “Kita harus sabar, sebab Allah senantiasa bersama orang yang sabar. Jangan mudah terpancing emosi nanya karena bujuk rayu syaitan yang selalu membisikan, bahwa pelajaran  ini sulit untuk dimengerti. Pada akhirnya, kita jadi malas menggali ilmu. Termasuk dalam pelajaran Pak Tyson itu.” Timpal Aisyah menyejukan. Yang satu ini memang remaja masjid tulen.
            “Iyee... ustadzah! Kite-kite sabar, deh!” jawab Rina sinis.
            “Eh... napa nyebut ‘kite-kite’? Pan cuma elo, Rin, yang gak sabar dalam belajar?” protes Siska yang gak terima dirinya disebut sebagai cewek yang gak sabaran.
            Aisyah hanya tersenyum kecut sementara Rina nyegir lebar.
            “Ahh... udah deh! Eh, Sis, ntar malem kita klubing yuk!” tawar Rina, coba alihkan pembicaraan.
            “Wah, oke punya, dong!” sahut Siska antusias menanggapi usul Rina.
            “Oh, iya,” Rina meminum dulu jusnya, tenggorokannya terasa kering, “Ustadzah tentu gak ikut, kan?” tanya Rina mencibir.
            Aisyah mengelengkan kepalanya. Tersenyum kecil. Tak lama kemudian dia berkata, “Aku merasa, sejak kematian kedua orang taumu beberapa bulan lalu, kamu jadi sering ke klub malam.”
            “Ya, iyalah... jelas gitu loh! Penghilang stres, gituu...! Lagian gue kan punya duit sekarang.” Ucap Rina enteng.
            “Tapi, kamu juga punya seorang adik, bukan?” tanya Aisyah penuh selidik.
            “Ya, emang kenapa?” tukas Rina pendek.
            Siska hanya memperhatikan mereka sambil sesekali menikmati Teh Sosro yang ada di tangannya.
            “Bukankah adikmu juga berhak untuk menikmati warisan dari almarhum orang tuanya?”
            “Gue juga sih berfikir begitu. Tapi kan dia masih kecil, baru kelas satu SMP. Jadi...”
            “Justru itu!” potong Aisyah, “Dia masih kecil, artinya dia masih dikategorikan sebagai seorang yatim piatu. Beda dengan kamu yang sudah dewasa. Kamu bukan yatim piatu lagi!” tutur Aisyah mantap.
            “Tapi... dia itu masih ingusan! Dan gue gak yakin dia bakal bisa memegang uang warisan orang tuaku!” sanggah Rina meradang. Merasa dirinya dipojokan. Sambil sesekali menoleh ke arah Siska, coba minta dukungan. Tapi Siska diem aja gak mau ikut campur.
            Gadis berjilbab panjang itu tersenyum hangat, “Rina, bukan itu maksudku,” suara Aisyah kini lebih lembut.
            Lalu merubah posisi duduknya lebih dekat dengan Rina. Siska menyimak baik-baik. Lantas nasehatnya mulai mengalir, “Islam, mengajarkan kita, supaya mampu menjadi pemimpin bagi saudaranya yang lebih muda. Apalagi untuk mengayomi saudaranya yang yatim. Ini adalah perbuatan yang sangat mulia. Allah memuliakan anak yatim, dan Dia juga memuliakan seorang yang mengasihi anak yatim. Betapa besar cinta Allah kepada anak yatim, sehingga Allah sangat memurkai orang yang mendzalimi anak yatim. Entah itu dengan memakan harta anak yatim, membodohi anak yatim, tidak merawat anak yatim sepeninggal orang tuanya...
            Maka sahabatku... berlaku adilah pada adikmu yang yatim, jangan engkau mendzalimi adikmu yang yatim, jangan pernah pula untuk membentaknya. Aku takut engkau dimasukan Allah ke dalam golongan orang-orang yang mendustai agama. Bukankah Allah berfirman, ‘Ara aital ladzii yukadzdzibu biddiin’ tahukah kamu orang yang mendustakan agama? ‘Fadzaalikal ladzii ya du ul yatim’ maka itulah orang yang menghardik tidak menghiraukan anak yatim...”
            Aisyah menatap erat wajah Rina, seolah memberinya isyarat untuk merenungkan apa yang tadi ia sampaikan.
            Rina diam bagai tembok yang tak goyah. Namun dirinya tak kuasa menahan air mata yang menetes satu-satu. Dan sinar mentari membuat butirannya itu terlihat bercahaya. Dia mulai terisak lalu menangis kemudian menghujam Aisyah dengan pelukannya. Begitu pula Siska yang dari tadi memperhatikan mereka berdua. Kini ketiga sahabat itu larut dalam tangisan. Tangisan syukur... air mata penyesalan dan bahagia...
                                    ***
            Honda Jazz warna merah itu merayap pelan di halaman rumah yang cukup besar. Lantas sesosok gadis berseragam putih abu-abu yang tak lain adalah Rina turun dari mobil itu. Dia melangkah gontai menuju rumahnya. Merenungi apa yang telah diucapkan Aisyah di sekolah tadi siang, dan dia menyesali diri betapa ia telah mendzalimi adiknya semata wayang. Ingin sekali dia bertemu Salwa sekarang. Untuk meminta maaf padanya, untuk menghibur hatinya. Karena sebenarnya dia juga sayang kepada adiknya itu. Dia mencari-cari Salwa di setiap sudut ruangan rumahnya nan luas. Akan tetapi tak ditemukan pula adiknya itu. Ah, barangkali dia masih di pengajian. Fikirnya mengusir rasa gusar di hati. Lantas dia merebahkan diri di sofa karena kelalahan. Tak lama kemudian, dia pun terlelap, tidur.
            Took...toookk... toookkk...
            “Assalamu’alaikum....!!”
            Rina seketika terbangun, ketika suara salam meresap masuk kedalam telinganya.
            “Wa... waalaikum’salam! Tunggu sebentar?” jawabnya sambil membenahi pakaian. Lalu beranjak membuka pintu.
            “Eh... Pak RT...! Ada apa? Oh... iya, maaf, mari masuk!” sapa Rina ramah.
            “Nggak usah! Rin.... astagfirullah... astagfirullah... astagfirullah...” Pak RT itu beristigfar berulang-ulang.
            Rina menangkap gelagat yang tidak baik. Dia memperhatikan seluruh tubuhnya yang masih berbalut seragam sekolah. Takut ada aurat yang terbuka. Tapi semuanya baik-baik saja, fikirnya.
            “A... ada apa?”
            “Astagfirullah... astagfirullah... adikmu... adikmu, Rin...” tutur Pak RT terpatah-patah.
Wajah tanda tanya Rina berubah menjadi gusar.
            Apa apa, pak? Ada apa dengan adik saya?” tanya Rina cemas.
            “Ma... maaf... nak.... nak... Salwa... ngg... anu... kecelakaan...” ungkap Pak RT lemah.
            Jawaban itu bak petir di siang bolong bagi Rina.
            “Astagfirullah hal adzim... innalillahi... ya Allah... kini dimana adik saya, pak?” ucapnya kalut, ada rasa sakit di hatinya.
            “Di rumah sakit..”
            “Se... sekarang kita kesana, pak!” putus Rina sambil mengajak Pak RT. Lalu menghambur ke mobil.
            Di perjalanan...
            “Nak Rina, ingat Allah! Tenangkan dirimu, istigfar, nak!” kata Pak RT mengingatkan ditegah-tengah kekhawatiran karena mobilnya melaju kencang. Namun Rina tak menanggapi. Dalam fikirannya hanya satu, Salwa harus selamat! Terpaksalah Pak RT memegang erat-erat sabuk pengaman sambil tak henti-henti berdoa dalam hati.
            Akhirnya mereka tiba di rumah sakit dan Rina masih belum tenang... hatinya kalut, kalut sekali...
            “Mana adikku?” tanyanya pada suster dengan gusar ketika tiba di bagian gawat darurat.
            “Anda siapa?” suster itu balik tanya.
            “Mana adikku?” ulang Rina seolah tak peduli untuk menjawab.
            “Iya! Tapi anda siapa?” suster itu mengulang pertanyaan dengan nada yang cukup keras.
            “Saya Rina, kakak Salwa!” jawabnya setelah beberapa detik menenangkan diri.
            “Oh... Salwa ada di ruang ICU, mari saya antar.”
            Mereka bertiga akhirnya menuju ruang ICU. Rina melangkah dengan tergesa-gesa. Namun Pak RT meminta Rina untuk tetap tenang dan berdoa kepada Allah.
            Dokter yang menangani Salwa keluar dari tempat Salwa dirawat. Rina dan Pak RT menghampiri dokter itu.
            “Dok, bagaimana dengan adik saya, dok?” tanya Rina tak sabar.
            Dokter itu menghela nafas panjang sebentar.
            “Adik anda mengalami kecelakaan yang hebat. Kepalanya membentur aspal sehingga timbul pendarahan yang banyak. Namun kami dapat meminimalisir pendarahan tersebut. Kini dia dalam keadaan... kritis.” Jawab dokter itu secara rinci.
            “Ya allah...” ucapnya parau.
            Beberapa menit kemudian orang yang menabrak salwa tiba. Dia menceritakan seputar kejadian itu. Bahwa mobil yang sedang ia kendarai dalam kecepatan tinggi hingga di suatu tikungan dia tak menyadari ada gadis yang sedang menyebrang sehingga dengan telak Salwa tertabrak dan terlempar beberapa meter membentur aspal yang keras.
            Sementara Rina mulai putus asa dan Pak RT tak henti-hentinya menguatkan hati Rina.
            “Ma... maafkan saya, saya... saya... telah menabrak adik... anda! Saya akan menanggung semua biaya perawatan adik anda! Saya... janji!” ucapan orang itu dengan terbata-bata.
            Namun Rina sama sekali tidak menghiraukannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah tentang salwa. Salwa harus tetap hidup!
            Tanpa permisi dia beranjak ke mushola. Seolah ada yang menuntunnya kesana. Meninggalkan Pak RT dan orang yang menabrak Salwa. Setibanya disana, ia mengambil wudhu, lalu shalat dua rakaat, dan kemudian berdoa.
            “Ya Allah... hamba telah banyak mendzalimi diri hamba dan adik hamba... ampunilah dosa hamba ya Allah... hamba bertaubat ya Allah... Ya... Allah... hamba mohon, selamatkanlah Salwa adik hamba, hindarkanlah ia dari mautMu ya Allah... janganlah Engkau jadikan hamba ditinggal seorang diri, jangan biarkan adik hamba meninggalkan hamba dalam kesunyian ya Allah... janganlah engkau membuka kembali luka hamba setelah Engkau memanggil kedua orang tua hamba ya Allah...” rintihnya.
            Rina bersimpuh dan bersujud kepada Allah. Bitur-butir mutiaranya membasahi mukena dan sajadahnya.
            “Nak..” suara Pak RT memcahkan keheningan, “Salwa mulai sadarkan diri. Dan dia memanggil-manggil namamu. Sepertinya dia ingin bertemu denganmu, nak!” tukas laki-laki berpeci hitam itu.
            Mendengar penuturan Pak RT, Rina seketika bangkit tanpa menanggalkan mukenanya terlebih dahulu. Dia berlari menuju adiknya satu-satunya itu. Seolah berlomba dengan malaikat maut yang sedang mengintai nyawa Salwa. Menembus orang-orang yang melintas di sepanjang koridor rumah sakit. Tak peduli dengan dirinya yang menjadi pusat perhatian. Dan, takala pintu ruangan itu terkuak, ia bersimpuh di hadapan adiknya yang berbalut perban tak berdaya.
            Salwa mamandang kakaknya melalui ekor matanya, bibirnya menyunggingkan senyum. Manis dan tulus sekali. Namun terasa perih di hati Rina.
            “Sa... Salwa... ehk... Sa... ma... maafkan kakakmu, ehk... yang... tak... bisa menjaga... mu... ehk..” tutur Rina terisak-isak. Sementara dokter, Pak RT, dan orang yang menabrak Salwa hanya diam belaka.
            Di pembaringannya, Salwa berucap lemah sekali... dia berujar terengah-engah...
            “Ti... dak, kak... heeegh... justru, Salwa... yang... heegh... ha... rus... min... heeegh... minta... ma... af. Heeegh... Sal... wa.... kini.... heeegh... ber... harap.... Allah.... heeegh.... meng.... heegh... mengabulkan..... doa... Sal... wa.... untuk.... heeegggh.... kakak... su.... paya.... heeeggghh... jadi.... kakak..... yang.... heeegghh... sholehah.... ki.... ki.... kini... heeeeggghh.... Sal.... wa..... heeeegghh.... mau... heeeeggghh.... menyusul..... ayah.... heeegghh... dan ibu..... heeeegghhh... Laa.... illla.... heeeeggghhh.... ha.... illallah.... heeeghhh... wa.... asyhadu.... heeegghhh... anna.... Muhammad..... heeeggghhhhh.... Rasul.... Allah....”
            Roh Salwa akhirnya meninggalkan jasadnya dengan tenang.
            Rina mundur beberapa langkah, memojokkan diri di tembok. Wajahnya bercucuran air mata, sembab. Sambil memegang kepalanya, ia menggelengkannya kuat-kuat, seolah tak percaya adiknya telah berpulang mendahuluinya. Tapi, harus bagaimana lagi, dia harus mengikhlaskannya..
            Selamanya...
            Selamat jalan, Salwa...

[hd gumilang]

0 comments:

Posting Komentar