Selasa, 04 Maret 2014

Akh Amei: Ikhwan yang Menghentakkan Dakwah Media


Ketika pertama kali mendapat kabar kalau akhuna Andi Meisak (Amei) lolos ke Akademi Sahur Indosiar (AKSI), jujur hati saya berdebar haru.

Ingatan ini melayang pada masa-masa di kampus dulu, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, awal tahun 2008. Satu tahun setelah kami kuliah di kampus yang berlokasi di Cibiru-Bandung ini.

Wasilah itu bernama Lembaga Dakwah Mahasiswa (LDM) UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Akh Amei masuk LDM dalam gelombang kedua open recruitment anggota baru yang biasa dikenal dengan sebutan GEMA BARU. Sedangkan saya lebih awal bergabung di gelombang pertama.

Pertama kali bertemu di markaz LDM, akh Amei itu orangnya periang. Pakaiannya sangat gaul. Jauh berbeda dengan style berpakaian teman-teman di LDM pada waktu itu yang berkoko ria. Saya sempat heran dengannya, wajahnya sangat oriental dengan sipit yang tegas sedangkan logat bicaranya Melayu kental. Kok bisa, ya?

perjumpaan itu hanya sebentar, selanjutnya kami jarang bertemu. Bahkan saya belum tahu akh Amei jurusannya apa, asalnya dari mana. karena pada tahun 2008 itu tarbiyah saya masih kurang bagus. Ditambah lagi dengan musibah patah tangan sehingga harus beristirahat hampir satu semester lamanya.

Awal 2009, saya mulai memperbaiki ke-Islam-an, pada saat itupula saya mulai berkenalan dekat dengan sosok ini. Kami satu kelompok binaan yang kelak tidak akan pernah berpisah sampai berakhir ketika wisuda. Akh Amei ternyata berasal dari Palembang, blasteran Banten. Dulu pernah nyantri Siap Guna di Daarut Tauhid. Sebelum masuk ke UIN pernah ngamen, jualan asongan, dan lain sebagainya demi menyambung hidup di rantau. Di kampus, dia mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam.

Kehidupannya yang keras itu sangat mempengaruhi wataknya yang ceplas-ceplos, orangnya vokal, bicara apa adanya. Jika suka, dia katakan suka. Jika tidak suka, dia katakan tidak suka. Sehingga kadang, bagi orang yang sensitif sering merasa tidak nyaman dengannya. Namun justru di sanalah letak kelebihannya. Dia selalu mau belajar memperbaiki diri.

Saya teringat, suatu hari dalam pekanan kelompok, akh Amei pernah bilang, "Prinsip saya dalam mencari kebenaran hanya satu, saya akan terus melakukan sesuatu sampai murobbi mengatakan 'perbuatan antum salah' jika memang salah."

Mengapa dia sampai berkata demikian? Karena masa lalunya. Banyak peristiwa yang terjadi padanya yang jika diceritakan di sini tidak akan selesai hanya dalam satu atau dua halaman. Hitam dan putih telah menjadi catatan sejarahnya waktu lampau. Dan memang, bukan itu yang ingin saya ceritakan di sini.

Akh Amei itu pandai memotivasi, public speaking-nya bagus. Dalam agenda-agenda kampus termasuk di LDM dia sering didaulat untuk menjadi MC. Dan saya berbahagia karena sering menjadi partnernya memandu acara. Pernah pada suatu acara TK Azzahra (otonom LDM yang berkaitan dengan tarbiyatul aulad), saya mati gaya untuk mengkondisikan anak-anak TK yang berseliweran di dalam aula kampus, akh Amei-lah yang sanggup menguasai panggung sehingga acara bisa lancar hingga selesai. Dia juga seorang munsyid, suaranya merdu. Dalam hal ini, ada akh Abdul Qadir yang selalu menemaninya bernyanyi. Saya paling senang ketika dia menyanyikan Nasehat Taqwa. Pernah kami nyanyi-nyanyi berdua di markaz LDM dengan berbekal wadah galon bekas sebagai perkusi. Kenangan yang baik.

Dibalik keceriaan, ketegaran, dan ketegasannya, dia memiliki sisi sensitif dan lembut. Hampir dalam setiap pekanan, Dia sangat mencintai ibunya. Dia selalu menceritakan keadaan ibunya yang sakit-sakitan. Berkali-kali dia meminta kami untuk ikut mendoakan kesembuhan sang bunda.

Akh Amei sangat peka dengan lingkungan dan mau turun tangan langsung dalam proses perubahan. Hal ini tercermin di lingkungan kosan tempat tinggalnya. Saya mengetahuinya karena sempat beberapa kali pekanan diselenggarakan di kamarnya. Kosannya sangat teratur, terjadwal, dan disiplin. Ada tugas-tugas yang jelas bagi para penghuni kosan yang mayoritas masih belum terbina. Dan dia berhasil mengkondisikan mereka. Subhanallah.

Januari 2011, adalah waktunya mahasiswa angkatan 2007 KKN. Lokasinya di daerah Garut Selatan. Takdirpun berbicara. Saya kembali satu kelompok dengannya. Banyak sekali kisah menarik ketika tinggal selama satu bulan dengannya, bersama juga akh Muhammad Mulki Ibrahim, dan akh Ade Jaja Nurzaman.

Selama di Desa Cijayana, kecamatan Mekarmukti, Akh Amei berperan sebagai orang yang benar-benar bebas diluar aturan kelompok. Ketika kami pada awal-awal di sana kesulitan untuk menyatu, pemuda Palembang ini di hari pertama langsung membawa buah tangan kelapa muda dari warga sekitar! Bagaimana bisa? Pikir kami. Tapi begitulah dia bekerja.

Dia tak segan untuk membaur dengan warga sekitar, ikut bercanda di gardu pos ronda, ikut dengan permainan-permainan mereka, bahkan sampai bergadang untuk sekadar main play station. Ketika kami tabayyun, dia menjawab, "Akh, dakwah itu bukan untuk orang yang baik saja. Jika dakwah hanya untuk orang baik, bagaimana nasib saudara kita yang saat ini terjerumus di lingkungan yang buruk? Kita harus terjun langsung merangkul mereka. Tidak ada seorangpun yang turun ke sawah tanpa terkena lumpurnya." Itulah akh Amei, pribadi yang anti mainstream. Subhanallah.

Cijayana, memberikan kesan mendalam bagi saya terhadap akh Amei. Itu tidak bisa dipungkiri sehingga saya merasa mengenal pribadinya dengan dekat, mungkin tanpa dia sadari. Karena memang saya sosok pendiam. Berbeda 180' dengannya.

Waktu itu, pada malam mabit terakhir KKN kelompok 001 kami, bersama kelompok 002, dan 003 di SMP Cijayana-Mekarmukti. Suasananya ramai sekali. Penuh keceriaan. Sebab ini adalah mabit pertama yang dirasakan oleh adik-adik di sana. Akh Amei ikut menyumbangkan sebuah lagu, Sebiru Hari Ini dari Edcoustic.

Limabelas menit berselang setelah dia bernyanyi, secara tiba-tiba dia mengambil michrophone dari MC. Napasnya terdengar berat berhembus. Matanya terpejam lama. Bibirnya mengatup rapat. Sampai kemudian dia bicara, "Sahabat-sahabatku, Abang minta kalian membaca al fatihah sekarang." Kamipun melakukannya, meskipun terheran. Kemudian suasana seketika hening kembali.

"Jazakumullah khair." Ucapnya tertunduk, "Abang baru dapat telepon, bahwa ibunda telah berpulang ke rahmatullah." bilangnya lirih. Lalu pingsan. Kami shock, suasana mendadak gaduh. Sedu terdengar memenuhi ruangan kelas itu.

Akh Amei dibawa ke ruang guru. Dibaringkan di sana. Warga berduyun-duyun datang. Berbelasungkawa. Ketika akh Amei siuman, dia meminta untuk pulang. Padahal waktu sudah larut. Tidak ada elf yang beroperasi semalam ini. Syukurlah, ada warga yang bersedia mengantar. Maka berangkatlah akh Amei pulang ditemani akh Fachrul. Sedih, salam perpisahannya dengan membawa kepiluan bersama.

Wafatnya sang bunda, membawa titik perubahan yang sangat besar dalam diri seorang Andi Meisak. Itu yang saya rasakan. Dalam setiap pekanan, dia menjadi semakin disiplin, teliti, lebih terbuka soal privasinya dalam sesi curhat. Dan, lebih dewasa dalam bersikap.

Tempaan cobaan demi cobaan, dan berbagai pengalaman hidup telah mengantarkan dia menjadi sosok saat ini. Dia pernah berkata, "Allah tidak mungkin menelantarkanku jika sudah membawaku sejauh ini."

Andi Meisak, sosok itu kini telah bermetamorfosis menjadi pribadi yang baik dan menginspirasi banyak orang. Kehadirannya di layar kaca, semoga menjadi sebuah hentakan sejarah yang akan membangunkan dakwah media menuju arah yang lebih baik. Berkontribusi dalam proyek besar membangun peradaban Islam yang agung, yang mulia.

Semoga Allah ridha dengan ikhtiar antum, saudaraku.

Akhukum fillah, HD Gumilang*
---------------------------------------
*Penulis, Sejarawan, Kontributor Peradaban

1 komentar:

  1. masya Allah,,, ana sgt kagum sjak pertama melihat beliau di AKSI Indosiar,,, apa bs kami undang k kampus kami di Manado?

    BalasHapus