By: HD Gumilang
Senja telah
beranjak ke peraduannya, sekelompok burung camar mulai berterbangan di atas
langit yang menggelap. Mentari yang merah merona itu mulai tenggelam.
Sayup-sayup terdengar gema adzan maghrib bergemuruh dari corong speaker masjid
tak jauh dari rumahku. Merdu dan membawa ketenangan dalam hati ini.
Selepas
menunaikan shalat maghrib, Aku memainkan pena dengan pikiran yang bimbang,
sambil tiduran di kamar aku mulai menuliskan sesuatu, “Siapa dirimu sebenarnya?”
dengan sebuah tanda tanya yang besar sekali.
Mulanya,
beberapa hari yang lalu, waktu malam berkutat di beranda Facebook datang sebuah
permintaan pertemanan dari seseorang yang belum akun kenal sebelumnya. Namanya
Hasan Al Bann.
Dengan tanpa
berpikir panjang, Aku langsung mengonfirmasi pertemanannya. Bagiku, menambah
pertemanan di jejaring sosial seperti fb
adalah bagian dari usaha memperluas silaturrahim dan juga jaringan. Sesaat aku
tersenyum, namanya mirip sekali dengan seorang tokoh Islam yang mendirikan
sebuah pergerakan yang hingga kini pengaruhnya meluas di seantero negeri.
Namun
seperti biasa, setelah itu aku kembali dengan duniaku, ku tuliskan sebuah
status, “Merindukan syurga adalah seperti orang yang menjual sesuatu yang
bernilai dan dia mendapatkan imbalan yang sangat besar hasil penjualannya itu.”
Ada rasa
bosan yang mengurung diriku, tak ada akhwat yang bisa di ajak chatting malam
ini. Lalu terbersit dalam benakku sebuah rasa penasaran. Hhmm, tentang teman
baru yang tadi, Hasan.
Ku pikir,
siapa ya dia? Namanya unik sekali, apakah dia seorang ikhwan?
Kemudian aku
buka profilnya maka terpampanglah beberapa status terbarunya. Ternyata Hasan
bukan orang sini, pikirku. Ku lihat, dia ternyata dari sebuah negeri di Eropa
Timur. Ku perhatikan bahasanya. Aku mengeryitkan dahi, bahasa apa ini sangat
tidak aku mengerti.
Dari sederetan
statusnya itu, ada satu yang menarik perhatianku meski aku tak mengerti
sedikitpun arti dari bahasa tersebut. Lantas aku berkomentar dibawah status
tersebut, “Can you exsplain in English?”
Suara
jangkrik silih berganti meramaikan keheningan malam ini, seiring dengan waktu
yang terus bergulir. Ku tunggu balasan komentar dari dia namun belum juga ada
jawaban. Sementara rasa kantuk menyerang semakin ganas dan bertubi-tubi. Dan
tak terasa, aku pun mulai tertidur lelap seiring dengan mengatupnya kedua
kelopak mataku. Tidurkan aku dalam rasa syukurMu ya Rabb.
* * *
Hembusan
angin dingin yang menyejukkan, suara camar bertasbih memuji kuasa Sang
Pencipta, begitupun dengan dedaunan yang menitikkan embun memanjatkan rasa
syukur kehadirat Allah azza wa jalla.
Rincik air
wudhu begitu menyegarkan pori-pori seluruh bagian tubuhku, betapa Allah
memudahkan kita untuk mensucikan diri, betapa Allah memperhatikan kita semua.
Setelah
melakukan rutinitas harian di pagi hari, ku buka notebook Aspire kesayanganku
itu, sekadar untuk melihat pemberitahuan terbaru di berandaku.
Sambil
ditemani segelas teh manis hangat aku mulai menelusuri pemberitahuan satu
persatu. Ada sebuah pemberitahuan yang menarik perhatianku, sebuah pesan di
dindingku dari Hasan. lantas aku mengkliknya.
Ku rerutkan
dahi sehingga membentuk garis-garis kecil, sebuah kalimat berbahasa Inggris.
Ternyata, itu adalah jawaban dari yang semalam aku tanyakan. Ternyata itu
tenang hati, dia bilang hati itu seperti harta kekayaan, lebih baik di jaga
jangan diberikan kepada sembarang orang.
Sejenak aku
merenung, hati adalah kekayaan. Bahwa ternyata kekayaan itu bukan tentang
banyaknya uang yang dimiliki, atau kekayaan materi yang bergelimang dalam
hidup. Tapi ternyata, kekayaan yang sebenarnya adalah hati. Tapi mengapa
kekayaan hati ini tidak boleh diberikan kepada sembarang orang? Pikirku sambil
memainkan ujung kain jilbab lebarku yang berwarna biru langit.
Lalu ku tuliskan
komentar dibawahnya, menanyakan dia berasal dari mana.
Tak beberapa
lama kemudian dia menjawab, “I come from Albania.”
Ketika aku
hendak mengetik kalimat balasan bagi Hasan, tiba-tiba ibu memanggilku dari
depan pintu kamar, “Aish, tolong bantu ibu belanja ke pasar ya. Pinggang ibu tidak
nyaman, sakit,” pinta beliau dengan suara yang lirih.
Ku pandangi
wajah sayu ibuku yang sudah menginjak usia baya, lalu dengan segera ku matikan notebook
ini, “Baik, Bu,” sambil ku layangkan seulas senyum terbaik bagi ibuku tercinta
lantas aku peluk tubuh ibu erat, “Aish sayang ibu,” sambil ku kecup mesra
kening ibu yang pagi ini berjilbab hitam. Lalu ku berjalan ke depan pintu
rumah.
“Nak, kenapa
kamu terburu-buru?” sergah ibu cepat.
“Kenapa bu?
Kan Aish mau ke pasar,” jawabku polos.
“Lho, ini
uang belanjanya masih dipegang di tangan ibu, nak,” timpal Ibuku sambil
tersenyum dan menghampiriku.
Refleks aku
tersenyum malu sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal “Iya, bu
maaf, Aish tadi terpesona dengan wajah cantik ibu pagi ini sampai-sampai lupa
mengambil uang belanjanya,” kataku manja sambil memuji ibuku. Dan beliau
mencubit hidungku penuh rasa cinta.
* * *
Sudah
beberapa minggu terakhir ini aku tak membuka fb, dikarenakan kesibukan yang aku
lakukan. Maklum, meskipun aku anak bungsu dari lima bersaudara, dan keempat
orang kakakku itu laki-laki semua aku tidak ingin hidup dalam ketergantungan
kepada kakak-kakakkku. Aku ingin mandiri.
Alhamdulillah sejak masuk kuliah
empat tahun silam, aku mulai memiliki jaringan yang cukup luas, apalagi aku
kuliah di sebuah perguruan tinggi yang memang memiliki link yang cukup luas di
dunia kampus. Maka aku mulai berbisnis kecil-kecilan. Jualan aneka aksesoris
muslimah. Dari sanalah aku mulai belajar untuk mandiri dan melepaskan
ketergantungan dari keluargaku.
Setelah
kesibukanku kembali berangsur dalam titik normal aku pun mendapatkan waktu
luang untuk membuka fb. Maka, sore ini aku pasangkan lagi modem di notebookku,
ku lihat status-status terbaru yang diposting oleh teman-temanku. Ku baca satu
demi satu, kebanyakan memberikan semangat dan aku paling suka hal itu. Beberapa
saat aku tersentuh membaca kiriman teman-teman lainnya yang dilanda kesedihan,
ku do’akan mereka supaya segera diberi kebahagiaan kembali oleh Allah. Lalu,
kedua mataku terpaku membaca status-status yang bagus dari Hasan, aku berikan
like di status-statusnya. Ternyata kemudian dia mengirimkan sesuatu di
dindingku, isinya.
“I’m fall in
love, and this love as same as a traffic light. I want to know what I can do,”
ku menarik nafas sejenak lalu melanjutkan membacanya dalam hatiku, dia
mengatakan apakah harus terus mengejar cinta itu, apakah harus berhati-hati,
atau berhenti?
Aku tertegun
sejenak, lalu ku balas, “You must take care, be carefull.”
Selang
beberapa saat, dia menjawab singkat, “Yes, I can do it.”
Aku
bertanya,. “How old you?”
“I’m very
old.”
Sejujurnya
aku bingung, apa yang dimaksudkan oleh Hasan tersebut. Tak disangka, dia
mengirimkan sebuah pesan di inbox dan mengatakan usianya yang sebenarnya serta
menerangkan bahwa Hasan Albann bukanlah nama aslinya, terus dia bilang untuk
menjaga rahasia ini dan jangan disebarluaskan.
Sebuah
perkenalan yang sangat singkat. Lalu aku terlibat perbincangan dengannya
tentang kondisi Indonesia, keadaan di Albania.
Aku
tersentuh ketika dia ceritakan bahwa Albania itu adalah negeri yang indah,
namun jumlah penduduk muslim di sana sekarang sedikit. Aku lanjutkan bacaannya,
bahwa seperti halnya negeri muslim lainnya, di sini kami mendapatkan banyak
tekanan demi tekanan namun semua itu menjadikan kami semakin kuat, insya Allah.
* * *
Beberapa
hari setelah percakapan tersebut, tepatnya sekitar pukul 9 pagi di hari libur,
hatiku tak kuasa menahan tangis. Ku hubungi sahabatku, Teh Ratih.
“Assalamu’alaikum¸Teh, ini Aish, bisa ketemu hari ini. Ada yang ingin Aish ceritakan,” kataku dengan
suara yang pilu.
“Wa’alaikumsalam,
iya ada apa dik? Kenapa kamu menangis?” suara Teh Ratih tedengar khawatir dari
sana.
“Aish, ingin
bicara sama teteh, ingin bercerita tentang sebuah perasaan yang hinggap dalam
hati Aish, hiiikks.”
“Baik dik,
kita ketemu di Masjid Kaum pukul 10 ya,” jawab Teh Ratih akhirnya.
“Syukran ya
Teh. Wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Ku susut air
mataku yang sedari tadi tumpah, aku bersyukur masih ada Teh Ratih, sahabatku
yang selama ini selalu menjadi pasangan curhat bagiku. Dia selalu bersabar
menerima keluh kesahku, dia yang selalu dapat menenangkan hatiku dan dia yang
selalu dapat membesarkan kembali hati ini.
Sekitar
pukul sepuluh, aku sudah tiba di Masjid Kaum dan duduk di serambi yang tidak
jauh di pintu samping masjid ini. Tak berapa lama Teh Ratih pun datang. Dengan
tergesa aku berdiri dan berlari menghampirinya dan menyandarkan wajahku di
bahunya disertai isak tangis. Teh Ratih lantas menenangkanku sambil
mengingatkan bahwa banyak orang di masjid yang mungkin melihatku.
“Kamu
kenapa, dik? Hingga menangis seperti ini?” tanya teh Ratih heran, kerudung
merahnya sedikit terkibar oleh hembusan angin yang sejuk kepada kami.
“Hiikkss,
Aish ingin bercerita teh.”
Dengan wajah
yang teduh teh Ratih mengangguk pelan, mempersilahkan aku untuk bercerita.
“Beberapa
minggu lalu, Aish menerima pertemanan dari seorang bernama Hasan. Hasan Albann
di fb. Dia berasal dari Albania. Seorang yang tentu jauh dari sini dan tidak
Aish kenal sama sekali. Di sana kami terlibat banyak percakapan tentang
Indonesia, tentang Albania, tentang harapan kami masing-masing. Aish merasa
kagum karena pengetahuannya mengenai dunia islam sangat luas, kecintaannya
kepada dienullah terlihat sekali. Tanpa Aish sadari, seringkali hati ini
tersentuh ketika dia menceritakan tentang saudara-saudara kita di Palestina,
Iraq, Afganistan dan di negeri kaum muslimin lain yang hingga saat ini
tertindas oleh mereka yang tidak menghendaki Islam berdiri di muka bumi ini.
Aish tersentuh karena ketika di negeri ini Aish bisa hidup aman dan damai, di
waktu yang bersamaan ada saudara kita yang meregang nyawanya, tertindas
hidupnya, direnggut haknya dan dilecehkan kehormatannya.
Suatu ketika
dia mengatakan, dia berharap suatu hari Aish singgah di Albania. Dan dia juga
bilang bahwa dirinya akan berusaha untuk mengunjungi Indonesia suatu ketika,
mencoba belajar bahasa kita."
Aku berhenti
sejenak, ada air mata yang berlinang di mataku. Aku seka air mata yang menetes
ini. Dan dengan sabar Teh Ratih masih setia menyimak curahan hatiku ini.
“Lalu apa
yang terjadi, dik?” Tanyanya ramah.
“Terus Aish
akhirnya tau ternyata dia itu adalah seorang soldier. Soldier of Allah. Dia
berasal dari Albania bekerja di kalangan
mujahidin di Syam. Tetapi bukan ISIS. Lalu ada kalimat yang meluncur dari Aish,
‘Aku berharap kita bisa berjumpa.’ Dia menjawab, ‘In Jannah if not in this
world’… dari sana Aish lose contact namun begitu dia banyak mengirimi Aish
berbagai tautan mengenai beragam medan juang muslim. Hingga akhirnya kemarin
akunnya telah hilang sama sekali. Dihapus.
In Jannah if
not in this world, di syurga jika tidak di dunia, sebuah kalimat yang sangat
menusuk hati Aish teh, menggetarkan perasaan Aish sebagai seorang akhwat.
Seolah tak ada peluang untuk bertemu di dunia ini, seolah semuanya telah
tersurat bahwa bukan di dunia pertemuan ini.”
Aku tarik
nafas sejenak, kemudian meneruskan lagi.
“Dia
benar-benar merindukan pertemuan dengan Allah, benar-benar mengharapkan syurga
Allah. Ketika Aish tanyakan memilih yang mana, Isk Kariman aumut syahidan? dia
menjawab ‘syahid fisabilillah..’ lalu dia memohon agar Aish membantunya berdo’a
agar meraih cita-citanya untuk syahid di jalan Allah. Dia mengatakan,’If the
sun in my right hand, and the moon in my left hand, I’m never let my believing
to Allah,’ dia sungguh ingin syahid di jalan Allah! Karena itu dia memilih
untuk berjuang berperang di jalanNya. Membela agamanya. Dia ingin menjadi
syuhada, ingin dikumpulkan dengan para Nabi, para Shidiqin, Sholihin, Syuhada
maka dia menyuruh Aish mendo’akannya. Dia bilang ingin mati untuk Islam,” ungkapku
sendu.
“Dik, apakah
dalam hatimu mulai tumbuh sebuah perasaan cinta kepadanya?” tanya Teh Ratih.
Aku kembali
terisak, ku jawab lirih.
“Teh Ratih, akhwat
mana yang tak ingin menjadi bidadari seorang mujahid? Entahlah, dalam hati Aish
seolah ada setitik rasa kagum atau mungkin cinta. Tapi Aish tidak mau mengungkapkan
ini kepadanya dan Aish merasa memang tak seharusnya Aish sampaikan hal ini
kepadanya. Bisa dikatakan, Aish hanya mencintainya dalam diam, cukuplah Allah
dan Teh Ratih sekarang yang mengetahui bahwa ada rasa suka tanpa harus dia tahu
tentang ini. Kendati Aishpun bertanya, adakah sempat bagi seorang soldier untuk
membuka internet di tengah-tengah intaian perang yang takberkesudahan.”
Lalu ku
peluk erat tubuh Teh Ratih, ku tumpahkan segala gelisahku selama ini, rasa
rinduku yang terpendam, jerit hatiku yang terbungkam, rintihan jiwa yang penuh
harap, kepadanya. Berurai air mata, mengharapkan sebuah pertemuan yang kecil
untuk terjadi.
“Hasan beruntung,”
tiba-tiba kalimat itu keluar dari Teh Ratih.
Aku tidak
mengerti, dengan suara yang masih sendu ku tanyakan.
“Beruntung
bagaimana, Teh? Dia dicintai oleh seorang akhwat yang lemah seperti Aish
disebut beruntung?”
“Hasan
beruntung karena ada dirimu yang mau membantu mendo’akannya untuk syahid. Hasan
beruntung karena engkau mampu menahan diri untuk takmengungkapkan rasa cinta
kepadanya karena bisa jadi jika dia mengetahui engkau mencintainya itu akan
merubah niatan syahidnya. Adikku, bila engkau mencintainya, hanya satu harapan
teteh, jangan lebihkan cinta dari Allah. Cintailah dia untuk mengharapkan
ridhaNya, dengan kasih sayangNya. Benar, cintailah dia dalam diam, tak usah
engkau ungkapkan rasa cinta ini. Sampaikanlah saja cintamu kepada Allah dan
biarkan DIA yang mengurus persoalan cintamu kepada Hasan. Bila engkau
mencintainya karena Allah, akan hadir ketenangan dalam hatimu, dan keikhlasan
untuk menerima segala keputusanNya. Teteh yakin, engkau pasti bisa menjalani
ini. Kuatkan hatimu dengan senantiasa mengingat Allah.”
Dengan
lembut tangan Teh Ratih membelai kepalaku yang memakai jilbab ini. Ada
keteduhan dalam hatiku setelah mendengarkan nasehat darinya. Rasa syukurku
kepadaMu ya Rabb, mengutus seorang saudari yang bisa mengingatkanku akan segala
nikmatMu..
Fabiayyi ala
irobbikuma tukadzdzibaan..
* * *
Ketika malam
semakin sunyi, dan angin yang dingin menyusup dari celah jendela berhembus pada
tubuhku. Terdiam aku memandangi rembulan yang bersinar, ditemani oleh bintang
gemintang yang bercahaya. Memberikan sebuah pesona indah di malam yang hening
ini.
Ketika ku
teringat Hasan, ku ingat kepada Muhammad Al Fatih, sang penakhluk
Konstantinopel. Seorang pribadi yang secara jujur ku kagumi, meskipun dia telah
tiada beberapa abad yang lampau, namun jiwanya masih tetap hidup dalam hatiku.
Hasan memang bukan Al Fatih, dan tidak bisa dibandingkan dengan Al Fatih.
Karena Sang penakhluk Konstantinopel ini adalah bagian dari karunia Allah di
setiap jaman akan ada orang pilihan yang memberikan pengaruh yang besar. Namun,
jiwa dan semangat Al Fatih inilah yang menurutku mengalir dalam diri Hasan, dan
mungkin ikhwan-ikhwan lain yang mendedikasikan hidupnya bagi kemuliaan Islam.
Yang memikirkan ummat untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Para pembangun
peradaban Islam.
Dalam sepi
ini, ku tuliskan sebuah puisi baginya:
Tak terbayang seperti apa dirimu,
kau begitu jauh dariku,
namun Allah mempertemukan kita walau tak secara langsung,
kau menawan hatiku dengan keshalihanmu,
dengan semangat jihadmu,
kau rindukan syahid maka kau memilih jihad menjadi jalan hidupmu.
Kau ingin dikumpukan bersama para Nabi,
para Syuhada di JannahNya.
Kau ingin Allah segera mensyahidkanmu.
Apa kau tau begitu sendunya hati ini saat kau bilang,
”In Jannah if not in this world”
Kita akan bertemu di syurga jika tidak di dunia,
Sebegitu besarkah keinginanmu untuk syahid wahai The Lion of Islam,
Walau pilu tapi dalam do’aku akan selalu ada dirimu,
aku akan berdo’a sebagaimana yang kau pinta agar Allah menjadikanmu
sebagai syuhada dan martyr of this deen.
Insya Allah I will do it,
Harapanku kau akan segera menjadi syuhada Allah dan bidadari telah
menanti untukmu.
Bidadari yang indah,
jelita,
putih bersih,
tak pernah tersentuh siapapun,
dan taat pada Allah.
Itulah yang pantas kau dapatkan.
Aku bahagia jika kau mendapatkan itu walau diri ini merasa pilu.
Tapi diri ini bangga karena telah mengenal Mujahid sepertimu.
Wanita mana yang tidak ingin menjadi bidadari seorang mujahid?
Dalam do’a ku berharap engkau dapat meraih kesyahidan di jalanNya,
meraih kebahagiaan di JannahNya,
bertemu para anbiya,
bersua dengan para syuhada,
berdzikir dengan para shidiqin dan bercakap dengan para sholihin.
Dan ya Allah,
hanya satu pintaku,
pertemukan kami dalam JannahMu,
Bila itu Engkau Ridha.
________
0 comments:
Posting Komentar