Ya, bisa dikatakan dia seorang cerpenis amatir. Beberapa karyanya bertebaran di mading dan majalah sekolah. Setiap hari, selain kewajibannya menimba ilmu dan begaul bersama sahabat-sahabatnya, dia selalu menyempatkan diri untuk menulis cerpen atau merampungkan karyanya yang belum sempat dia selesaikan. Kadang dia menulis tentang pengalamannya, kadang pula sahabat-sahabantnya meminta padanya supaya dibuatkan cerpen khusus tentang mereka. Dan, dengan senang hati Fauzi memenuhi permintaan mereka. Diantara mereka itu, kisah Surya lah yang paling sering dia tulis. Sebab Surya merupakan sahabatnya yang terdekat.
“Zi, bisa kan kamu ceritain kejadian waktu liburan kemarin?” pinta Surya suatu kali.
“Yang dimana, Sur?”
“Yang waktu di mie ayam itu!” cetusnya.
“Oh... iya! Insya Allah.” Jawab Fauzi sambil tersenyum mengerti.
Di rumah setiap selesai shalat maupun belajar, diapun menyempatkan diri untuk menggoreskan pena di atas kertas. Biasanya sambil berbaring di kasur, matanya lurus menatap langit-langit rumahnya yang putih. Seolah sedang mencari inspirasi. Jika tidak sibuk, ayah dan ibu sering memperhatikan Fauzi saat sedang menulis. Ada kalanya beliau meminta putranya itu membacakan isi ceritanya atau sekadar bertanya menceritakan tentang apa cerpen itu. Fauzi memang sangat di perhatikan sekali oleh orang tuanya. Terlebih dialah satu-satunya anak yang masih tinggal satu rumah dengan mereka. Sementara semua kakaknya telah berumah tangga sendiri.
***
Pagi itu, genap empat hari setelah ujian sekolah. Seperti biasa Fauzi berangkat ke sekolah, karena memang sekolahnya tidak libur. Sebab ujian praktek telah menunggu di depan mata. Namun jadi tidak biasa karena saat ini dia menjadi sangat pendiam. Pun tak lagi menulis sebuah cerpen. Anomali ini tentu saja mengundang banyak komentar dari crew gosip kelasnya yang dikenal pedas dalam mengomentari korbannya.
“Eehh.. dah tau tentang Fauzi?” pancing Luna kepada gank-nya saat mereka sedang kumpul. Dialah pemimpinnya.
“Iya, ya, napa sekarang dia jadi pendiam banget?” tanya Tiwi sang spionase. Usut punya usut, cewek yang satu ini memang sangat memperhatikan Fauzi.
Sambil mencomot kwaci Cina, Susi yang doyan makan ikut nimbrung, “Kali aja dia lagi ada masalah!” analisisnya.
“Yee... itu sih udah pasti, Neng!” sembur Luna, “Tapi yang jadi masalah, apa masalahnya?” sambungnya.
Euis, gadis yang juga pendiem coba angkat bicara, “Kalo dilihat dari gelagatnya nih, pastinya dia.... ngg...” kalimatnya terhenti di kerongkongan. Malu rupanya.
“Apaan?!!” desak teman-temannya. Semua memperhatikan dirinya.
Mau gak mau dia pun melanjutkan ucapannya. Dengan pipi yang merah karena malu dia berkata, “Ngg... dia baru di putusin!”
Mereka bengong sejenak demi mendengar Euis ngomong, saling pandang satu sama lain. Lalu tiba-tiba...
“Hwahahahaha.... whahahaha...!!!” bareng-bareng.
Euis bingung, iihhh apanya yang lucu? Bisik hatinya.
“Gak mungkin atuh Euis! Dia kan emang tertutup banget kalo nyangkut pribadinya!” sanggah Tiwi setelah mengatur nafasnya yang terkocok.
“Ho...oh! Gimana kamu mah! Cari alasan yang logis, dong! Timpal Susi, kemudian ngembat snack turbo!
Komentar Luna lebih pedas lagi. “Kamu pastinya negebandingin dari sikapnya yang juga pendiam ya. Inget, Is! Kamu emang pendiem banget! Tapi dia baru kali ini jadi diem gitu! Lagian kan kamu jadi cicingeun gini lantaran dicampakkan cowok! Memang sih itu wajar banget, soalnya mukamu emang.... biasa banget sih! Wong desoooo...!” cibirnya setengah ketawa.
Euis cemberut banget dikatain seperti itu. Sementara yang lain masih tertawa-tertawa mengingat kekonyolan sohib mereka yang satu ini.
Tak lama Surya pun muncul. Dia berjalan di koridor sendirian. Aneh, fikir mereka! Biasanya bareng sama Fauzi!
“Jangan-jangan ini sebabnya! Dia musuhan sama Fauzi!” tebak Susi bisik-bisik.
“Udah, kita panggil aja dia sekarang!” elak Luna gak nerima alesan susi.
Saat Surya lewat dihadapan mereka.
“sory, Sur! Biasa bertanya gak? Bentar aja!” tanya Luna sopan.
“ada apa neh tanya-tanya segala?” ucap Surya cuek.
“Kamu tau, napa Fauzi jadi diem banget?”
“Gak tau!” jawabnya singkat, jelas, padat, datar dan dingin.
Tuh kan!” simpul Susi tiba-tiba. Seolah ingin menyatakan bahwa tebakannya tadi emang bener. Luna mangut-mangut menegerti.
Disaat seperti itu, Fauzi melewati mereka. Tanpa permisi tanpa menoleh. Luna seketika sadar. Buru-buru dia memanggilnya.
“Zi... Zi... bentar! Sini dulu, deh! Sahutnya nyaring.
Fauzi menghentikan langkahnya lantas menoleh. Wajahnya dingin banget tanpa ekspresi sama sekali. Sebab barusan aja dia sempat dikatain sama Jumadi yang keras kepala itu dan gak pandang bulu kalo gak suka sama seseorang. Dia ngatain Fauzi sebagai anak yang gak produktif dan pemalas karena permintaannya tentang cerpen belum juga direalisasikan oleh tuh anak. Nah, kalo gitu apakah ini biang keladi diamnya Fauzi? Lantas yang barusan? Aaahh, pokoknya baca aja deh kelanjutan ceritanya! Hehehe...
Fauzi menghampiri mereka. Sementara Surya masih ada di dekat crew gosip itu. Wajah Surya tegang sekali. Tanya kenapa?
“Zi, boleh tau? Napa kamu jadi pendiem gini? Ceritain dong, kita kan sahabat?” bujuk Luna simpatik. Begitulah kalo peri gosip sedang mencari info. Pura-pura peduli pada korbannya. Padahal kan tau sendiri kalo ngegosip itu dikit banget manfaatnya! Malah banyakan mudlaratnya! Betul gak?
Fauzi masih mmematung. Di waktu bersamaan Surya bilang, “Sorry! Aku cabut dulu!” lalu beringsut begitu aja. Tanpa sempat lempar senyum kepada Fauzi.
“Tuh kan!” celetuk Susi tiba-tiba.
Berhubung Surya udah pergi, Luna berani to the point.
“Zi, kamu musuhan ya sama Surya?” selidiknya.
“Apa alasannya?” akhirnya Fauzi bicara. Suaranya itu, iiiihhh.... kecil banget. Sampe beku rasanya kalo ngedengerin.
“Lho, barusan kan dia langsung cabut begitu ada kamu. Wajahnya juga tegang banget kan? Gak nyapa-nyapa pula! Padahal biasanya gak seperti itu kan?” cerocos Luna dengan setumpuk bukti.
Fauzi menatap Luna dan teman-temannya tanpa ekspresi. Kaku sekali. Bahkan lebih kaku daripada wajah Slyvester Stallone di film Rocky! Luna and the gank begidik juga rupanya ditatap begitu rupa.
“Tidak, saya gak musuhan. Kalo kalian lebih teliti, tadi dia memegang bukti pembayaran untuk lari. Wajahnya yang tegangpun bukan berarti dia takut pada saya. Melainkan karena dia sibuk banget mau ke bapak. Tapi kalian menghalanginya. Itulah yang membuatnya tegang, takut terlambat menghadap bapak. Padahal kalian juga tahu, kalo Surya sudah sibuk dia bakal fokus. Apa-apa bakal dia acuhkan. Bahkan pacarnya sekalipun. Jadi bukan berarti dia musuhan sama saya.” Jawab Fauzi dingin namun sangat tepat sasaran. Luna and the gank sampe balik diem seribu basa. Gak tau mau ngejawab gimana.
Fauzi pun lantas berlalu, berjalan dengan wajah dingin tanpa ekspresi.
***
Tiga hari telah berlalu semenjak Fauzi manjadi pendiam. Dirumah, ibu menjadi merasa kehilangan. Tak ada lagi tatapan khas Fauzi kala mencari inspirasi. Tak ada lagi suara Fauzi yang secara ekspresif menceritakan cerpennya. Tak ada lagi jawaban mengenai isi cerita itu, melainkan sekadar menjawab. Ya, ibunya kehilangan banyak sekali hal dari Fauzi dan itu membuatnya bersedih.
Tak ingin masalah ini berlangsung lama, maka setelah Shalat Ashar ibu datang menghampiri Fauzi di kamarnya. Fauzi sedang berbaring. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi sangat jelas bangi ibu Fauzi, bahwa anaknya sedang memiliki masalah. Disisinya kertas-kertas itu masih kosong tak tergores. Melihat ibunya datang, Fauzi segera bangun.
“Nak...” sapa ibunya ramah, “Sudah Shalat Ashar, kan?”
“Alhamdulillah.” Jawabnya singkat.
Kemudian ibu duduk disampingnya. Hembusan angin membelai lembut mereka dari jendela yang sengaja Fauzi buka. Rumah mereka yang berada di antara pohon-pohon rimbun membuat suasana menjadi sejuk. Sinar mentari menyeruak malu-malu disela ranting pohon yang ditempa angin.
“Tiga hari ini ibu merasakan ada perubahan sikap dirimu. Ada apa nak? Apakah kamu memiliki masalah yang serius? Ceritakanlah pada ibu! Jujur, nak, ibu merasa kehilangan tiga hari terakhir ini. Fauzi yang ceria, Fauzi yang aktif dan terpenting Fauzi yang senang menulis cerita...” tuturnya lirih.
Gauzi menarik nafas panjang. Dia tidak tega membiarkan ibunya terus berada dalam kesedihan.
“Ibu... ibu selalu mengajarkan padaku. Bila ada masalah berkeluhlah pada Allah semata. Dan memang Fauzi saat ini memiliki masalah. Tapi, seperti yang selalu iu katakan, Fauzi hanya berkeluh kepada Allah subhannahu wa ta’ala.. Dan menunggu jawabanNya...” jawab Fauzi pelan nan lembut.
Ibunya tersenyum, “Alhamdulillah sikapmu itu baik nak. Tapi jangan seperti itu. Kamu boleh dan bahkan harus berkeluh hanya kepadaNya. Tapi jangan sampai keluhmu itu justru merubah sikapmu menjadi egois seperti ini,” ibu menarik nafas sementara Fauzi memejamkan matanya, jadi aku egois? Sesalnya dalam hati.
“jangan merasa bila kamu mampu menyelesaikannya sendiri. Allah akan membantu kita apabila kita menjaga hubungan baik sesama manusia. Hidayah Allah itu tak selalu langsung kepada kita. Ada kalanya hidayahNya disampaikan melalui seseorang yang dekat dengan dirimu. Atau melalui suatu peristiwa yang mungkin kamu saksikan. Seperti itulah, nak. Maksud dari menunggu pun, bukan berarti kamu hanya menunggu jawaban Allah melainkan kamu harus berusaha untuk mencari jawabanNya. Dan ini tidak mungkin bisa kamu lakukan, bila kamu hanya diam saja menunggu!” nasehatnya penuh keibuan yang membuat hati Fauzi bergetar karenanya.
Lalu fauzi mulai berkata, bahwa sebab diamnya selama ini adalah karena pertemuannya dengan seorang alumni beberapa waktu lalu. Alumni itu mengkritik dirinya karena cerpen milik Fauzi mirip dengan cerpen yang pernah dibuat oleh alumni itu. Dia secara tersirat berucap seharusnya mencari inspirasi sendiri daripada berinspirasi kepada seseorang. Jujur, hati Fauzi sakit karenanya.
“Ya, Fauzi memang pernah membaca cerpen miliknya, bu! Tapi jika bukan karena karunia Allah pastilah Fauzi bakal cepat melupakan cerpen itu. Ini semata-mata kaerna hidayah Allah, bu! Bukan berarti Fauzi meniru cerpennya. Mungkin sekilas mirip. Tapi bukankah mirip itu bukan berarti sama, tak selalu sama. Pasti ada perbedaannya. Dan perbedaan itulah yang merupakan inspirasi Fauzi yang sesungguhnya. Dan sebenarnya cerpen itu murni dari pengalaman Fauzi! Demi Allah!” tuturnya parau, lantas bernafas panjang sebentar.
“Selama ini Fauzi berdoa kepada Allah untuk menawarkan rasa sakit Fauzi...!” pungkas ceritanya yang panjang itu, hatinya getir, kalbunya menggugat, batinnya terluka.
Jadi, bukan karena Jumadi?!
Ibu dan anak itu terdiam. Entah mungkin hidayah Allah belum datang untuk menjawabnya. Tapi satu yang pasti, kini Fauzi tak diam lagi. Ingin berkarya lagi, dan karena itu pula ibu tak risau lagi terhadap putranya itu. Lantas apakah justru ini hidayah Allah? Wallahu a’lam...
HD Gumilang
0 comments:
Posting Komentar