Menulis tentang apa, apa yang harus aku tulis. Rasanya bingung harus menulis apa. Ini salah itu salah. Mau menulis ini, eh dirasa tidak pas. Dihapus lagi saja. Tapi tuliskan lagi. Di hapus merasa sayang, mau diteruskan kebingungan.
Apa yang harus ditulis, pengalaman pribadi, kejadian tadi siang, peristiwa pagi tadi?? Bingung, harus mulainya dari mana, kata “aku” atau “dia” atau “mereka” atau orang ketiga. Ah rasanya, tidak akan selessai-selesai. Jika cuma dipikir-pikir. Lalu apa ya, kejadian yang aku lihat, atau sekadar cerita yang berasal dari imajinasi?
Rasa-rasanya, menulis itu sulit, tapi kok dirasa mudah. Bicara itu mudah, tapi kok mengapa dituliskan jadi susah.
Terus, terus, mengapa harus menulis? Katanya buat mengabadikan sesuatu.. sesuatu apa ya? Yang penting? Yang mendesak? Yang berkesan? Yang membekas? Atau malah yang menyakitkan?
Seolah semuanya itu bisa dituliskan, tapi gimana nulisnya ya? Rasanya tangan ini susah buat menulis, bisanya cuma dipikirkan. Tapi sekadar dipikirkanpun gak nyaman, karena hati berontak ingin mengungkapkan rahasianya, ingin menceritakan apa yang selama ini dipendam olehnya.
Bingung sungguh bingung, tak main-main, bingung kepalang tanggung. Segala sesuatu yang sudah dimulai haruslah diselesaikan. Jangan ada yang setengah-setengah, tapi semuanya pun jangan berlebihan. Jadi harus gimana? Atau gimana harus jadinya?
Kata orang, menulis adalah upaya untuk membuka jendela dunia, sebuah wawasan yang membentang luas melebihi ruang dan waktu. Namun masalahnya apa yang harus ditulis? Sebenarnya ini bukanlah masalah, karena pada kenyataannya yang menjadi masalah adalah sejauh mana kemampuan kita menyerap yang tersaji dalam kehidupan sehari-hari untuk kemudian dialih bahasakan dalam bentuk bahasa tulisan.
Hhmmm,, ternyata, kebingunganpun menjadi pemicu untuk menulis, tak kusadari, akhirnya sudah menulis cukup panjang kali ini. Ya, seperti itulah menulis, mengalir seperti air, jangan dihalangi, jangan ditahan, biarkan dia bergerak apa adanya, biarkan jari-jari ini menuliskan apa yang diserap dari hati dan otaknya hasil tinjauan dari kesehariannya, imajinasinya maupun harapannya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengasah kemampuan menulis kita seperti yang aku lakukan adalah membuka kembali lembaran-lembara lama, pelepah-pelepah (hhhmmm kayak belum punya buku aja ) zaman dahulu. Baik watu SD, SMP maupun SMA. Kebetulan aku sendiri sejak kecil sering menyimpan buku-buku catatan (pelajaran ) di lemari. Di sana dapat kita simak bahwa ternyata pada masa lalu kita pernah menulis ini itu, dari mulai pelajaran, curhatan kecil, sampai mungkin karya puisi maupun cerpen sederhana sekali. lalu bakal muncul sebuah pertentangan hati yang harus kita menangkan! “Kalau waktu dulu aku bisa menulis banyak hal, lantas mengapa sekarang tidak bisa seperti itu? Seharusnya sekarang aku lebih produktif dan matang!”
Bagiku, menulis adalah sebuah keharusan. Sebagai seorang sejarawan, menulis itu penting! Sebagai seorang seniman, menulis itu penting! Dan sebagai seorang sastrawan, menulis itu penting!!!
Jadi, menulis itu penting!!
Tanpa tulisan, bagaimana kita mau mengabadikan kisah hidup kita? Pakai folklore alias sejarah lisan??? Bisa. Tapi sangat rawan penyampaian yang keliru, mas bro!
Beda jika kita mengabadikan kita dengan tulisan, selain memiliki nilai sejarah yang besar, juga takkan pernah tergantikan. Sekali tergores, maka akan membekas. Begitu kira-kira filosofinya.
Menjadi seorang penulis, memerlukan ketajaman intuisi, empati dan keliaran imajinasi untuk di ramu sedemikian rupa menjadi sebuah karya yang enak untuk di baca oleh orang-orang.
Waktu kecil, aku suka dengan tulisannya Hilman. Tau kan? Itu yang menjadi penulis fenomenal Lupus. Gaya bahasanya yang mengalir lancar, tanpa sekat dan tidak di buat-buat mampu menghanyutkan aku dalam setiap kata demi kata yang dia rangkai. Usut punya usut, kemampuan menyihir bahasa yang Hilman miliki ternyata adalah buah dari kerja kerasnya sejak masih SMP! Dia pernah merasa nggak puas atas kualitas tulisan pelajaran waktu itu. Akhirnya dia menulis sendiri, mencetak sendiri, diterbitkan sendiri dan di beli sendiri. Hasilnya? Hilman berkata, “Aku benar-benar merasa puas!”
Inikah yang dinamakan bakat? Kenyataannya, bakat hanya memberikan pengaruh satu persen atas kesuksesan seorang penulis. Sebagian lainnya adalah usaha. Dan aku yakin, seorang penulis bisa sukses karena usaha alias kerja keras.
Anne Sullivan yang menjadi guru seumur hidupnya Hellen Keller juga memiliki kebiasaan mendokumentasikan setiap jengkal perkembangan Hellen Keller yang terlahir tuli, buta dan bisu itu dalam bentuk catatan harian. Lantas inikah yang di sebut kerja keras? Bukan, ini adalah bagian dari kesabaran dan sisi lain sebuah pembelajaran.
Atau, ada lagi sekelumit kisah kecil tokoh proklamator kita, Bung Karno! Mahakaryanya yaitu Dibawah Bendera Revolusi yang berisikan pemikiran-pemikiran utama seorang Sukarno ternyata tidak di buat ketika Bung Karno sudah menjadi presiden. Dia membuatnya justru saat masih muda, namun tulisan-tulisannya itu memiliki daya jangkau yang luas dan tahan lama. Mengapa ini bisa terjadi? jawabannya adalah karena Sukarno memiliki visi ke depan tiap kali menggoreskan tinta dalam tiap lembaran kertasnya.
Gak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi kata Ali Bin Abi Thalib adalah hasil karya kita yaitu goresan tulisan kita. Karya kita inilah yang akan terus di perbincangkan walau kelak kita telah tiada. Dan itu sudah terbukti banyak sekali tanpa harus aku tunjukkan contohnya kepada kita semuanya.
Menjadi penulis berarti menjadi guru peradaban, maka pertajamlah kemampuan menulismu supaya menjadi guru peradaban yang baik dan bermanfaat.
HD Gumilang MN
0 comments:
Posting Komentar