Robbisrohli sodri wa yasirli
amri, wahlul uqdatammillisani yafqohu qouli..
Saya ingin
mengawalinya dengan berkata, “spirit menulis itu bermula dari suasana jiwa.”
Sebagai
manusia, manusiawi jika kita merasakan bahagia, sedih. Adakalanya kita
tersenyum, tak jarang pula kita menangis. Pernah pula kita hadapi ujian hidup,
lantas sewaktu-waktu menyambut kesuksesan hidup. Semua itu, menjadi harta yang
berhaga dan menginspirasi untuk diceritakan.
Hanya saja
kenyataannya, bakat cuma berpengaruh sekitar 1% dari keberhasilan. Selebihnya
adalah usaha: kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tuntas.
Salah satu
penulis yang saya kenal lewat karyanya, Hilman Hariwijaya. Dalam bukunya, Gusur
pernah bercerita tentang kepribadian Hilman. Tentang karakter usahanya. Penulis
Lupus ini pernah merasa tidak puas dengan majalah yang ada di sekolahnya. Tanpa
ragu, dia mulai membuat majalah sendiri, mengisinya sendiri, mencetaknya
sendiri, menjualnya sendiri, dan membelinya sendiri. Lalu ketika ditanyakan,
“Apakah kamu merasa puas dengan semua itu?” dengan mantap Hilman yang waktu itu
masih bocah menjawab, “Saya puas!”
Suatu hari
saya menuliskan sebuah satus di FB. Ada seseorang yang bertanya, “Saya ingin
menulis tapi kesulitan, bagaimana sarannya?”
Melulu karena
ilmu saya dalam dunia kepenulisan masih sedikit, saya katakan begini, “Tuliskan
saja curahan hatimu, sebab itu seringkai efektif merangsang diri untuk
menulis.”
Dia membalas
di komentar, “Berarti semua orang jadi tahu dong tentang kehidupan saya?”
Saya bilang,
“Tidak selalu begitu. Coba cerita-ceritanya dibumbui supaya lebih sedap
dinikmati.”
Seorang
penulis muda, memang harus bermuka badak. Tidak boleh punya malu. Wajar saja,
karena itu bagian dari proses yang harus dilalui. Oleh siapapun itu.
Tidak ada
kepuasan bagi seorang penulis selain bisa menghasilkan tulisan. Maka lemparlah
tulisan itu ke forum. Bisa di FB, kaskus, kompasiana, blog, dan lain
sebagainya. Siapa tahu, ada yang nyasar berkomentar. Mengkritik ini itu, memuji
sana sini. Siapa tahu juga, mereka yang memberikan komentar adalah orang yang
ahli, sudah berpengalaman, ataupun seorang penulis professional. Kedatangan mereka
itu tanpa kita bayar sepeserpun. Kalaupun ada yang kita keluarkan, ya itu tadi
tulisan. Mereka butuh bahan bacaan, kita sediakan tulisan untuk dibaca. Simpel.
Seperti
cinta, memang susah untuk memulai tapi akan lebih sulit untuk mengakhiri.
Seperti itu pula menulis. Perlakukan ia sebagaimana perlakuanmu kepada cinta.
Bagaimana
perlakuan kita kepada cinta? Dengan perhatian, kasih sayang, simpati,
kepedulian, selalu ingin membersamai, tak mau membuatnya terluka, berani
berkorban, dan mengutamakan yang kita cintai. Maka, perlakuan kita kepada
menulispun minimal seperti itu. Jika ada kawan yang menghasilkan tulisan, maka
apresiasilah dengan secukupnya. Apa itu secukupnya? Cukup kritikannya, cukup
sarannya, cukup koreksinya, cukup dukungannya, cukup motivasinya, cukup
arahannya. Tegasnya, tidak berlebihan.
Dan, jika
keberhasilan telah kau rengkuh, jangan sekalipun lupa bahwa dahulu kau pun
pernah gagal. Ada banyak hal yang membantu mengantarkanmu pada keberhasilan,
jangan pernah kau lupakan hal-hal tersebut.
Ada banyak
contoh, bagaimana sesuatu pernah jadi sangat berharga, namun tiba-tiba mudah
dilupakan begitu saja. Saya ingin menceritakan.
Ada seorang
supir angkot. Kesehariannya melahap trayek yang sama. Supir itu punya penumpang
langganan. Anak kecil. Sehari-hari dia mengantarkannya ke sekolah. Mulai dari
SD, SMP, sampai SMA karena rute yang dilaluinya sama.
Suatu hari,
si anak tergopoh-gopoh. Dia hampir terlambat untuk ikut ujian seleksi masuk
perguruan tinggi. Beruntunglah, angkot yang biasa ditumpanginya tiba. Dia pinta
kepada si supir untuk mengebut agar tidak telat. Si supir pun memenuhi
permintaannya. Akhirnya, si anak berhasil ikut seleksi dan diterima di
perguruan tinggi bergengsi di negaranya.
Kisah
terputus sampai di sana. hingga enam tahun kemudian. Si supir masih dengan
rutinitasnya mengemudikan angkot. Hari itu suasana sepi, dia mengetemkan angkot
dekat lampu merah. Tiba-tiba dari belakang terdengar bunyi klakson
meraung-raung dari mobil sedan. Lantas mobil itu menyejajari angkot, membuka
jendela, dan membentaknya, “Bapak kalau mau ngetem lihat rambu-rambu dong!”
terus sedan itu melaju.
Si supir
angkot terkejut. Dia tidak mungkin bisa melupakan wajah itu. Ya, wajah anak
kecil yang dulu sering dia antarkan ke sekolah. Ada kesedihan menyeret hatinya.
Kepiluan itu kian menjadi setelah dia baca Koran. Di dalamnya dituliskan si
anak kecil itu telah bermetamorfosis menjadi pengusaha muda yang sukses di
tanah air. Siapa yang tidak tersayat hatinya melihat kesedihan si supir angkot?
Beberapa
bulan kemudian, si supir jatuh sakit. Entah karena penyakit apa. Dia dirawat di
rumah sakit umum di daerahnya. Sang dokter datang dan memerika keadaan si
supir. Betapa terkejutnya dia, wajahnya sangat familiar sekali. seteleh selesai
melakukan pemeriksaan, di ruang dokter dia mengingat-ingat. Lantas ditemukan. Ada
kesejukan di dalam hatinya, sebuah dorongan kebaikan.
“Katakan pada
pasien itu, si supir. Biaya pengobatannya sudah saya lunasi. Dan sampaikan
tulisan ini kepadanya.” Pinta sang Dokter kepada karyawan bidang administrasi
di rumah sakit tersebut.
Karyawan itu
menuruti permintaannya, dia sampaikan tulisan tersebut pada si supir, isinya, “Pak
supir, mungkin bapak tidak akan mengingat saya. Tapi saya masih ingat dengan
bapak. Saya adalah anak kecil yang dulu pernah diantarkan oleh bapak. Tanpa
jasa bapak, saya mungkin tidak akan bisa jadi dokter seperti sekarang.
Terimakasih tak terhingga.”
Apakah dokter
itu adalah anak kecil yang sama, dan dia pula yang membentak si supir di dekat
lampu merah? Bukan! Ternyata dia anak yang berbeda. Namun si supir lalai untuk
mengingatnya bahwa pernah ada anak kecil lain yang sering menumpang angkotnya.
Air mata
menitik menganak sungai. Si supir terharu. Hatinya tergetar. Ternyata masih ada
yang mengingat dirinya. Dan di jiwanya yang terdalam dia pun malu, mengapa dia
sendiri tidak mengingat si anak yang sekarang menjadi dokter itu?
Ada banyak
hal yang sering kita ingat namun di waktu kemudian berubah melukai kita. dan
berapa banyak yang tidak kita ingat namun di waktu kemudian sangat berjasa bagi
kita.
Begitupun
dalam dunia menulis. Belajarlah untuk biasa mengucapkan terimakasih. Belajar
untuk menghargai. Belajar untuk saling berbagi. Tidak merasa lebih baik
daripada penulis yang lainnya.
6 oktober
2013
Di
tengah-tengah kegiatan Kelas Menulis FLP Cianjur, disampaikan dalam sesi
mentoring gabungan.
0 comments:
Posting Komentar