Minggu, 06 Oktober 2013

Sebuah Pertemuan Besar



Robbisrohli sodri wa yasirli amri, wahlul uqdatammillisani yafqohu qouli..

Saya ingin mengawalinya dengan berkata, “spirit menulis itu bermula dari suasana jiwa.”
Sebagai manusia, manusiawi jika kita merasakan bahagia, sedih. Adakalanya kita tersenyum, tak jarang pula kita menangis. Pernah pula kita hadapi ujian hidup, lantas sewaktu-waktu menyambut kesuksesan hidup. Semua itu, menjadi harta yang berhaga dan menginspirasi untuk diceritakan.
Memang benar tidak semua manusia bisa menulis, tapi tak bisa dipungkiri setiap manusia punya bakat untuk menulis.
Hanya saja kenyataannya, bakat cuma berpengaruh sekitar 1% dari keberhasilan. Selebihnya adalah usaha: kerja keras, kerja cerdas, dan kerja tuntas.
Salah satu penulis yang saya kenal lewat karyanya, Hilman Hariwijaya. Dalam bukunya, Gusur pernah bercerita tentang kepribadian Hilman. Tentang karakter usahanya. Penulis Lupus ini pernah merasa tidak puas dengan majalah yang ada di sekolahnya. Tanpa ragu, dia mulai membuat majalah sendiri, mengisinya sendiri, mencetaknya sendiri, menjualnya sendiri, dan membelinya sendiri. Lalu ketika ditanyakan, “Apakah kamu merasa puas dengan semua itu?” dengan mantap Hilman yang waktu itu masih bocah menjawab, “Saya puas!”
Suatu hari saya menuliskan sebuah satus di FB. Ada seseorang yang bertanya, “Saya ingin menulis tapi kesulitan, bagaimana sarannya?”
Melulu karena ilmu saya dalam dunia kepenulisan masih sedikit, saya katakan begini, “Tuliskan saja curahan hatimu, sebab itu seringkai efektif merangsang diri untuk menulis.”
Dia membalas di komentar, “Berarti semua orang jadi tahu dong tentang kehidupan saya?”
Saya bilang, “Tidak selalu begitu. Coba cerita-ceritanya dibumbui supaya lebih sedap dinikmati.”
Seorang penulis muda, memang harus bermuka badak. Tidak boleh punya malu. Wajar saja, karena itu bagian dari proses yang harus dilalui. Oleh siapapun itu.
Tidak ada kepuasan bagi seorang penulis selain bisa menghasilkan tulisan. Maka lemparlah tulisan itu ke forum. Bisa di FB, kaskus, kompasiana, blog, dan lain sebagainya. Siapa tahu, ada yang nyasar berkomentar. Mengkritik ini itu, memuji sana sini. Siapa tahu juga, mereka yang memberikan komentar adalah orang yang ahli, sudah berpengalaman, ataupun seorang penulis professional. Kedatangan mereka itu tanpa kita bayar sepeserpun. Kalaupun ada yang kita keluarkan, ya itu tadi tulisan. Mereka butuh bahan bacaan, kita sediakan tulisan untuk dibaca. Simpel.
Seperti cinta, memang susah untuk memulai tapi akan lebih sulit untuk mengakhiri. Seperti itu pula menulis. Perlakukan ia sebagaimana perlakuanmu kepada cinta.
Bagaimana perlakuan kita kepada cinta? Dengan perhatian, kasih sayang, simpati, kepedulian, selalu ingin membersamai, tak mau membuatnya terluka, berani berkorban, dan mengutamakan yang kita cintai. Maka, perlakuan kita kepada menulispun minimal seperti itu. Jika ada kawan yang menghasilkan tulisan, maka apresiasilah dengan secukupnya. Apa itu secukupnya? Cukup kritikannya, cukup sarannya, cukup koreksinya, cukup dukungannya, cukup motivasinya, cukup arahannya. Tegasnya, tidak berlebihan.
Dan, jika keberhasilan telah kau rengkuh, jangan sekalipun lupa bahwa dahulu kau pun pernah gagal. Ada banyak hal yang membantu mengantarkanmu pada keberhasilan, jangan pernah kau lupakan hal-hal tersebut.
Ada banyak contoh, bagaimana sesuatu pernah jadi sangat berharga, namun tiba-tiba mudah dilupakan begitu saja. Saya ingin menceritakan.
Ada seorang supir angkot. Kesehariannya melahap trayek yang sama. Supir itu punya penumpang langganan. Anak kecil. Sehari-hari dia mengantarkannya ke sekolah. Mulai dari SD, SMP, sampai SMA karena rute yang dilaluinya sama.
Suatu hari, si anak tergopoh-gopoh. Dia hampir terlambat untuk ikut ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Beruntunglah, angkot yang biasa ditumpanginya tiba. Dia pinta kepada si supir untuk mengebut agar tidak telat. Si supir pun memenuhi permintaannya. Akhirnya, si anak berhasil ikut seleksi dan diterima di perguruan tinggi bergengsi di negaranya.
Kisah terputus sampai di sana. hingga enam tahun kemudian. Si supir masih dengan rutinitasnya mengemudikan angkot. Hari itu suasana sepi, dia mengetemkan angkot dekat lampu merah. Tiba-tiba dari belakang terdengar bunyi klakson meraung-raung dari mobil sedan. Lantas mobil itu menyejajari angkot, membuka jendela, dan membentaknya, “Bapak kalau mau ngetem lihat rambu-rambu dong!” terus sedan itu melaju.
Si supir angkot terkejut. Dia tidak mungkin bisa melupakan wajah itu. Ya, wajah anak kecil yang dulu sering dia antarkan ke sekolah. Ada kesedihan menyeret hatinya. Kepiluan itu kian menjadi setelah dia baca Koran. Di dalamnya dituliskan si anak kecil itu telah bermetamorfosis menjadi pengusaha muda yang sukses di tanah air. Siapa yang tidak tersayat hatinya melihat kesedihan si supir angkot?
Beberapa bulan kemudian, si supir jatuh sakit. Entah karena penyakit apa. Dia dirawat di rumah sakit umum di daerahnya. Sang dokter datang dan memerika keadaan si supir. Betapa terkejutnya dia, wajahnya sangat familiar sekali. seteleh selesai melakukan pemeriksaan, di ruang dokter dia mengingat-ingat. Lantas ditemukan. Ada kesejukan di dalam hatinya, sebuah dorongan kebaikan.
“Katakan pada pasien itu, si supir. Biaya pengobatannya sudah saya lunasi. Dan sampaikan tulisan ini kepadanya.” Pinta sang Dokter kepada karyawan bidang administrasi di rumah sakit tersebut.
Karyawan itu menuruti permintaannya, dia sampaikan tulisan tersebut pada si supir, isinya, “Pak supir, mungkin bapak tidak akan mengingat saya. Tapi saya masih ingat dengan bapak. Saya adalah anak kecil yang dulu pernah diantarkan oleh bapak. Tanpa jasa bapak, saya mungkin tidak akan bisa jadi dokter seperti sekarang. Terimakasih tak terhingga.”
Apakah dokter itu adalah anak kecil yang sama, dan dia pula yang membentak si supir di dekat lampu merah? Bukan! Ternyata dia anak yang berbeda. Namun si supir lalai untuk mengingatnya bahwa pernah ada anak kecil lain yang sering menumpang angkotnya.
Air mata menitik menganak sungai. Si supir terharu. Hatinya tergetar. Ternyata masih ada yang mengingat dirinya. Dan di jiwanya yang terdalam dia pun malu, mengapa dia sendiri tidak mengingat si anak yang sekarang menjadi dokter itu?
Ada banyak hal yang sering kita ingat namun di waktu kemudian berubah melukai kita. dan berapa banyak yang tidak kita ingat namun di waktu kemudian sangat berjasa bagi kita.
Begitupun dalam dunia menulis. Belajarlah untuk biasa mengucapkan terimakasih. Belajar untuk menghargai. Belajar untuk saling berbagi. Tidak merasa lebih baik daripada penulis yang lainnya.

6 oktober 2013
Di tengah-tengah kegiatan Kelas Menulis FLP Cianjur, disampaikan dalam sesi mentoring gabungan.

0 comments:

Posting Komentar