Saya tersentak membaca uraian dari Sekjen FLP Pusat, mbak Afifah Afra (Yeni Mulati Ahmad) ini. Apa yang diungkapkannya itu betul, tidak retak sama sekali. Ada kerinduan yang menggebu-kebu akan kebangkitan sastra Islami. Ada kecemasan yang meninggi melihat kemunduran-kemunduran dikalangan para sastrawan muda. Ada kemurungan melihat antusiasme anak-anak muda yang tak secerah dulu.
Barangkali kita perlu duduk dalam sebuah meja besar, bersama-sama menuangkan apa yang selama ini kita pikirkan, demi sebuah solusi besar, keutuhan cita-cita tertinggi kita. Terenyuh membaca kata-kata Mbak Yeni, "kami telah dididik dengan konsep NAHNU DU'AT QOBLA KULLI SYAI. Kami da'i sebelum segala sesuatu. Itu doktrin awal para penulis genre Islami."
Saya merenung, apa sesungguhnya doktrin kita saat ini?
Kita, bukannya dilarang untuk membaur dengan 'sastrawan-sastrawan lintas iman' malah terbuka ruang untuk itu. Sebab di alam reformasi ini, segala hal menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah ruang tukar pikiran.
Barangkali, kita saat ini, para calon penulis/penulis muda, sedang mengalami kegersangan keteladanan. Sehingga, ditengah keterputusasaan mencari jalan lain, yang bisa jadi justru menjauh dari nilai-nilai ke-Islam-an yang selama ini dikampanyekan oleh FLP.
Kita juga perlu menarik sebuah garis yang jelas tidak samar-samar, bahwa hadirnya kita bukan untuk melebur, melainkan mewarnai. Seperti nasehat yang sering diulang-ulang, "Yakhtalitunna walakin yatamayyazun." Berbaur namun tidak melebur/memiliki kejelasan nilai dan sikap.
Misi kita yang utama bergabung di FLP adalah untuk berdakwah lewat tulisan. Sambil bersikap tawazun, seimbang dalam pengembangan potensi diri seperti kemampuan menulis, peningkatan finansial, dan lain-lain.
Lanta, apa sebenarnya kegelisahan Mbak Afifah Afra ini? Mari kita simak tulisan Mbak Afra yang saya copy paste dari akun FB nya ini:
Dahulu, Fiksi Islami berkembang sangat pesat, salah satunya karena lingkungan yang sangat kondusif. Penerbit, penulis, dan para ustadz bekerjasama dengan sangat baik. Sama-sama saling berkontribusi menghidupkan dunia literasi Islami. Saya merasakan sekali suasana saat itu. Saya membeli buku ini, buku itu, terkadang justru karena menemukannya di lingkungan pengajian, dan bukan di toko buku. Setelah saya menulis, saya sering sekali diundang ke pondok-pondok pesantren, ROHIS, IRMAS dan seterusnya, membedah buku di sana, dan setiap selesai acara, para ustadz dan pembina sering mengajak bicara secara khusus, bahwa mereka sangat terbantu sekali dengan buku-buku yang kami tulis.
Sekarang... masih sama sih, tetapi ada penurunan yang sangat drastis. Para ustadz/ustadzah tak lagi bersemangat memotivasi murid-muridnya untuk membaca. Acara bedah-bedah buku, yang dulu--zaman saya remaja, selalu sangat digemari, kini sepi dan jarang sekali.
Dulu, angka 3000 eks terjual dalam 1-2 bulan sangat biasa. Pernah buku saya cetak ulang beberapa kali hanya dalam waktu tak sampai setahun. Sekarang, 3000 terjual dalam 1 tahun sudah luar biasa.
Tunggu! Ini bukan masalah royalti. Tentu royalti bukan tidak penting. Tetapi, kami telah dididik dengan konsep NAHNU DU'AT QOBLA KULLI SYAI. Kami da'i sebelum segala sesuatu. Itu doktrin awal para penulis genre Islami. Saya merasakan sekali nuansa itu ketika bertemu dan berinteraksi dengan para penulis macam Sinta Yudisia II, Azzura Dayana Satu, dll. Mereka sangat tidak rewel soal tetek-bengek hak sebagai penulis, sehingga kami sebagai penerbit yang kadang merasa malu dengan mereka (soalnya seringkali kami yang tidak disiplin).
Ini soal yang lebih dari itu: keterjualan menunjukkan ketersebaran pemikiran yang diselipkan dalam karya-karya mereka.
Betulkah karena kualitas? Tidak juga! Para penulis yang saya sebut di atas, langganan meraih penghargaan bergengsi.
Ini lebih pada masalah: apa suplemen yang dibaca oleh anak-anak sekarang untuk menambah semangat keislamannya? Untuk para santri mungkin agak mending, karena materi yang mereka ubek-ubek adalah agama: hujan ayat, gerimis hadist... (meski saya heran sekali, mereka tetap senang sekali jika bertemu dengan para penulis :-)). Tetapi, bagaimana dengan yang non pesantren? Yang hanya ngaji seminggu sekali, itu pun cuma 1-2 jam?
Jangan-jangan, dominasi drama korea lebih membentuk karakter mereka. Waduuuh!
Ayo, kembalikan lagi kejayaan buku-buku Islami!
0 comments:
Posting Komentar