Rabu, 08 Januari 2014

GENTING MASJID BERWARNA PINK

By: HD Gumilang

Entah siapa yang menyulut. Pastinya warga Desa Sukadana geger pada subuh itu. Ketika ayam selesai berkokok dan matahari mulai menyembul. Sekonyong-konyong tampak genting masjid jami di Desa Sukadana berubah jadi pink.

Omat adalah saksi pertama yang melaporkan pada pak Kades. Remaja tanggung ini baru pulang dari hiburan dangdut di desa sebelah, "Jadi begitu pak Kades. Tiba-tiba saja genting masjid berubah jadi pink!"

Pak Kades mangut-mangut, lantas mempersilakan Omat pulang. Dia lihat Omat berjalan sempoyongan.

Disusul kedatangan Matram, preman kampung, "Ini penghinaan!" serunya sambil menggebrak pintu. Pak Kades kaget, buru-buru dia menenangkan Matram.

"Tidak bisa pak Kades! Saya tidak terima! Warna pink adalah simbol pelecehan dan ledekan yang keterlaluan. Pokoknya pak kades yang bertindak, atau saya yang akan menyelesaikannya." tegas Matram lalu pulang. Pak Kades melepas pecinya. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Pak Kades lantas dijemput warga untuk datang ke TKP.
***

"Mana, mana Ujang dan kawan-kawan?" tanya Pak Kades mencari aparat hansipnya. Lalu muncullah Ujang dan kedua kawannya ditengah-tengah kerumunan warga di sekitar masjid yang terkejut genting masjid berubah pink.

"Kalian semalam kemana saja?" tanya Pak Kades setengah jengkel. Setengahnya lagi diwibawakan untuk menjaga citra dimata warganya.

Ujang angkat bicara mewakili kawan-kawannya, "Seperti biasa, Pak. Kami meronda sepanjang malam. Menelusur dari Kampung Kanyere ujung timur sampai Kampung Handeeul di ujung barat. Dari Kampung Aseupan di ujung utara sampai Kampung Warung Jengkol ujung selatan. Dan, semuanya aman-aman saja. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan."

Pak Kades naik pitam, "Tidak ada masalah kumaha?!" lalu menjewer kuping Ujang, "Kamu lihat, lihat! Ada yang berubah tidak?"

"A.. ada.. ada, Pak Kades.."

"Apa?"

"Gentingnya berubah jadi pink." Jawab Ujang gugup.

"Nah..!" seru pak Kades. Warga yang berkerumun makin riuh.
***

"Siapa ya, yang tega melakukan hal ini di desa saya?" Pak Kades mendesah, mumet. Bintang yang menggantung malam ini tidak sanggup mengalihkan dunianya.
***

Ternyata ancaman Matram bukan pepesan kosong. Keesokan harinya sekitar pukul sembilan, dia datang ke kantor desa membawa 20 orang anak buahnya.

“Pak Kades, mana pak Kades?” teriak Matram berapi-api.

Pak kades menyambut keluar, “Apa-apaan ini? Kalian mau apa?” sambil menyapu pandangan, melihat wajah sangar massa yang datang.

“Saya sudah peringatkan kemarin! jika Pak Kades lamban bergerak maka kami segera bertindak.”

“Sabar.. Tenanglah sedikit.” Pak Kades menghela napas. Ekor matanya melihat warga berdatangan ke kantor itu terusik dengan kehebohan ini.

“Apa yang sudah Pak Kades lakukan untuk memecahkan masalah ini?” tanya Matram.

Pak Kades menundukkan kepala, “Maaf.. belum. Saya masih..”

“Tuh, benarkan!” potong Matram, “Pak Kades semestinya sadar kejadian berubahnya genting masjid jadi warna pink adalah bentuk penghinaan pada Desa Sukadana!” tegas Matram. Lalu berbalik ke arah pendukungnya, “Ini adalah bentuk penghinaan bagi desa kita, setuju?!”

“Setujuuu!!” sahut mereka.

“Lantas anda tahu apa, mau apa, saudara Matram?” tanya Pak Kades. Dia ketus dengan sikap sok tahu preman satu ini.

“Ini ulah warga Desa Bojongseeul, Pak Kades! Dan kami akan menyerang mereka, Pak Kades!” jebret, jawaban yang menohok Pak Kades.

“Tunggu! Tunggu! Jangan membuat kesimpulan yang gegabah!” cegah Pak Kades. Napasnya naik turun.

Ujang yang dari tadi memperhatikan, ikut campur, “Lho kenapa warga Desa Bojongseeul yang disalahkan? Bukannya mereka baik sama kita. tahukan, kemarin juga terbuka dengan kedatangan warga sini di malam dangdutan. Seharusnya bukan mereka yang disalahkan. Tapi warga sini yang harus disalahkan karena tak mampu menjaga keamanan lingkungannya.”

Pak Kades sewot. Kerumunan yang mendengarnya langsung misuh-misuh. Matram langsung menjitak kepala Ujang pakai pentungan, “Ari maneh! Maneh sadar teu maneh itu siapa?”

“Aduuh, sadar kang. Saya hansip.”

“Ari hansip tugasnya apa?”

“Jaga keamanan lingkungan, kang..”

“Jadi yang seharusnya menjaga keamanan agar genting masjid tidak berubah jadi pink, siapa?”

“Oh, kalau itu, ya saya atuh kang. Masa yang lain. kan saya hansip di sini. Jadi saya yang berkuasa menjaga keamanan di sini.”

“Dasar bolo’on maneh!” pentung Matram sekali lagi. Pak Kades ikut-ikutan mentungin.

Tapi ditengah kerumunan muncul desas desus, “ Kok Pak Kades tidak teliti mengangkat aparat. Yang bolo’on gitu diambil. Lebih pintar anak saya, tuh,” begitu isu merebak diam-diam.

“Ayo kawan, kita berangkat sekarang!” seru Matram.

Pak Kades tergopoh-gopoh mencegah di gapura kantor desa, “Tunggu.. saya belum yakin warga Bojongseeul pelakunya. Apa yang dikatakan Ujang memang benar, warga sana baik sama kita.”

“Tuh kan, lihat Pak Kades. Jelas-jelas si Ujang salah masih keneh di bela.” Bisik-bisik di kerumunan warga kian melebar.

“Ari Pak Kades teu nyadar! Lihat atuh si Omat. Datang ka imah langsung ngagoletak. Pas dicium napasnya, bau alkohol, pak! Ini bukti kebaikan warga Bojongseeul hanya akal bulus padahal niatnya mau merusak desa kita.” jelas Matram.

Pak Kades manggut-manggut. Tapi dia tidak mengerti mengapa Matram yang preman mendadak seperti pahlawan, “Baiklah. Tapi saya mohon jangan menyerang Desa Bojongseeul. Biarkan saya yang menyelesaikannya secara kekeluargaan dengan Pak Tolib Kades Bojongseeul.” Lobi Pak Kades.

“Baiklah. Sekarang kami bubar dan menunggu hasilnya.” Pungkas Matram.
***

Tentu saja warga Desa Bojongseeul tidak terima atas tuduhan itu. Ini terkuak lewat sikap Pak Tolib saat ditemui Pak Kades siang harinya.

“Mana buktinya, pak? Jangan asal menuduh begitu.” Cecar Pak Tolib.

Pak Kades mati kutu, “Iya pak, maaf. Sebenarnya saya juga tidak punya bukti kecuali yang telah disampaikan tadi. Itupun saya dapat informasi dari Matram.”

“Matram si preman borokokok? Apanan bapak tahu dia itu tuti.. tukang tipu. Tukang pitnah.” Jelas Pak Tolib.

“Fitnah pak. Sanes pitnah.” Ralat Pak Kades.

“Ah, sabodo! Saya heran, mengapa bapak bisa mempercayainya.”

“Tidak tahu pak. Tiba-tiba saja saya percaya. Relung hati saya yang mengatakannya.”

“Ah, bapak sekarang begini saja,” imbuh Pak Tolib, “Isu ini jangan sampai terdengar oleh warga saya. Karena saya tidak mau situasi harmonis yang tercipta selama ini rusak oleh kabar burung.”

“Baik pak, saya mengerti. Saya banyak belajar dari bapak. Apalagi saya masih muda, pak. Mohon bimbingannya.” Bilang Pak Kades seraya undur diri.

“Apa itu, gaduh sekali di luar?” selidik Pak Tolib menyibak gorden jendela. Tampak kerumunan warga Desa Bojongseeul.

“Jangan-jangan..” tebak Pak Kades dalam hati.

Ketika keduanya keluar, langsung disambut seruan lantang Dulsatin preman Bojongseeul, rivalnya Matram, “Anda datang tak diundang, kami sambut dengan dada terbentang, Pak Kades Sukadana!”

“Jangan sekali-kali anda dan warga anda menginjak wilayah kami jika hanya untuk mematik bara api yang bergemuruh dalam jiwa kami yang merdeka! Pergi, pergi anda dari sini!” usir Dulsatin.

Melihat suasana kusut, tak ada pilihan lain kecuali Pak Kades tunggang langgang dengan Jupiter Z putih warisan gubernurnya itu.
***

“Saya harus bagaimana ini. Saya bingung dari kejadian genting masjid berubah jadi pink, merembet pada ancaman kerusuhan antar desa.” Curhat Pak Kades malam harinya. Sendiri. Pesona langit malam tak mampu mengalihkan dunianya lagi. Sedangkan istrinya telah tertidur pulas. Dia tak mau melibatkan istrinya dalam persoalan ini.

“Tok.. tok.. tok..” Pak Kades terkejut pintu rumahnya diketuk. Jiwanya mendesah, “Ya Allah jangan lagi, sudah larut malam begini.”

Dia bergegas ke pintu sambil membenahi sarungnya. Ketika dikuak, tidak ada siapa-siapa.
***

Sudah dua hari setelah kunjungan Pak Kades ke Pak Tolib Kades Bojongseeul, suasana kedua desa mandadak hening. Hampir tidak ada aktivitas berarti di dua desa itu. Barangkali takut terjadi gesekan.

Pada sore harinya, Pak Kades tampak sibuk seorang diri di halaman kantor desa yang memang cukup luas. Berulangkali dia keluar masuk kantor mengambil peralatan. Tentu saja aparat desa keheranan, tak terkecuali Ujang, “Bade aya naon, Pak?” tanyanya.

“Sudah, talk less do more..” jawab Pak Kades.

“Ini Pak, ayana jisamsu..” sodor Ujang.

Pak Kades mendelik, “Maneh poho saya the bukan perokok!”

“Oh, saya pikir..”

“Kamu ini selalu berpikir, tapi selalu salah. Maksud saya tadi, jangan banyak bertanya, bekerjalah. Tolong bantu angkat sound di dalam.” Jelas Pak kades.

Tak lama kemudia semua selesai. Ada infokus, layar, sound, terminal kabel, “Ari bapak teh, mau memutar film?” tanya Ujang.

“Iya nanti pak Tolib dan beberapa warganya mau datan ke sini juga.”

Ujang melotot, “Ari Bapak! Kepingin terjadi kerusuhan? Nanti kalau Matram dan Dulsatin tahu bagaimana?”

“Sudah, itu urusan kamu. Kamu sebagai keamanan harus menjamin itu takkan terjadi!” tegas Pak Kades.
***

Malam harinya, mendadak tak ubahnya bioskop misbar (gerimis bubar). Tukang kacang rebus, gorengan, basreng, cimol, mie baso tumpah di halaman desa. Padahal tak diundang.

Perwakilan Desa Bojongseeul juga datang, sepuluh orang jumlah mereka yang semuanya dalah jajaran aparat termasuk kadesnya, Pak Tolib.

Yang ketiban rugi tentu saja Ujang dan kawan-kawan. Mereka ekstra keras agar tidak terjadi kericuhan. Lagaknya mereka seperti agen intelijen saja, “Hehe, gaya uing siga Jemes Bon nya, Wan?” celetuk Ujang pada Wawan.

“Lain, maneh mah siga Wil Semit, lur.”

Acarapun dimulai. Pak Kades unjuk ke muka, “Assalamu’alaikum warhamatullah wabarakatuh. Bapak dan ibu-ibu, saya mohon maaf jika undangannya disampaikan mendadak tadi sore. Saya mengumpulkan bapak dan ibu-ibu di sini atas nama kejujuran mengenai peristiwa berubahnya genting masjid menjadi pink. Saya mohon maaf jika dinilai lamban untuk menyelesaikannya. Dari kejadian ini, saya mengambil banyak sekali pelajaran. Dan semoga kedepannya tidak ada lagi kejadian seperti ini. Saya mengundang bapak dan Ibu-ibu atas nama kejujuran dan demi menyaksikan kejujuran.”

Lalu Pak Kades mengambil bingkisan dari tas kerjanya, “Ini adalah sebuah flashdisk. Saya menemukannya dua hari yang lalu di depan pintu rumah saya di malam hari. Saya tidak tahu siapa yang mengirimkannya. Ketika pintu rumah saya buka, sudah tidak ada siapa-siapa kecuali barang ini.”

“Apa isi plesdikna?” tanya seorang warga.

“Isinya video amatir.” Jawba Pak Kades.

“Bolehkah diputar sekarang?” tanya warga yang lain.

“Tentu saja. Untuk itulah saya mengundang bapak dan ibu-ibu kemari.”

Kemudian videonya diputar. Warga Desa Sukadana yang datang, antusias menontonnya. Maklum jarang sekali ada yang seperti ini.

Video menunjukkan waktu malam hari, ada tiga sosok yang sibuk mengecat genting masjid. Ukuran masjid jami yang tak terlampau besa memudahkan mereka untuk memulas seluruh gentingnya.

“Hah, jadi genting masjid memang ada yang mengecatnya dengan warna pink.” Celetuk penonton.

Lalu video menunjukkan sesosok pemuda yang turun dari atap masjid. Begitupun kedua temannya. Pemuda itu kemudian menenggak minuman keras.

“Hei, lihat! Itukan wajah si Omat.” Cetus seorang warga sambil berdiri.

“Eta nu dua deui, mirip Matram dan Dulsatin pisan.” Ujar yang lain.

Lalu video beralih pada siang hari, penampakkan wajah Matram dan Dulsatin di sebuah warung yang diintip dari dalam warung dengan jarak yang cukup dekat.

Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, Matram dan Dulsatin menghampiri sebuah mobil Katana hijau yang berhenti di dekat warung.

“Bagus, kerja kalian sejauh ini berhasil.” Bilang sesosok bapak berkacamata hitam dari dalam mobil.

“Beres, pak. Sebentar lagi dua desa ini pasti rusuh gara-gara genting masjid berubah jadi pink. Dan mereka akan meminta tolong kepada bapak untuk menengahinya.” Kata Dulsatin.

“Kalian sudah menyebutkan nama saya?”

“Sebetulnya belum pak,” jawab Matram hati-hati, “Tapi sebentar lagi akan.”

Click..

Video berakhir. Warga terhenyak. Pak Kades terdiam. Sementara Ujang berpikir, “Mungkin Matram dan Dulsatin tidak datang ke sini sekarang, karena sudah lebih dulu ditangkap polisi.”


Cianjur, 8 januari 2014

0 comments:

Posting Komentar