Ku masih sendiri. Berjalan mencari sebuah kebenaran yang belum pernah ku temukan. Sebenarnya terbersit dalam hatiku untuk berhenti daripada meneruskan perjalanan ini, namun bayangan masa lalu terus menerus mengejarku sehingga membuat ku tak sempat untuk berhenti walau sejenak. Perasaanku selalu dikejar oleh masa lalu yang kelam. Aku takut, termakan kembali oleh masa lalu itu.
Namun semakin jauh ku berjalan, cahaya itu belum juga ku temukan. Tapi anehnya, aku tidak terperosok ke dalam kegelapan sebagaimana yang sebelumnya aku khawatirkan.
Syukurlah perlahan cahaya itu mulai menghampiriku, walau aku susah payah tuk menjaganya karena cahaya itu terlampau redup untuk mampu berpendar sendiri, seperti halnya cahaya lilin yang masih memerlukan kandil untuk menjaga pelitanya.
***
Kini aku berada di Bandung, meneruskan studiku kuliah di sebuah univeritas Islam. Bandung, memang sudah tidak seperti dahulu ketika orang tuaku atau kakek dan nenekku menceritakannya. Bandung kini panas sekali, tata kota sangat semrawut, Bandung yang dulu pernah dikenal sebagai Bandung Lautan Api, kini dipelesetkan oleh sebagian orang menjadi Bandung Lautan Sampah. Sungguh ironis bagi sebuah kota yang di zaman kolonial pernah mendapatkan predikat Parij van Java.
“Ka! Dika! ” sebuah teriakan memecahkan lamunanku di serambi mesjid saat itu.
Aku mengarakan pandangan dari asal muasal suara itu. Hm, ternyata Irul, desahku dalam hati. Ia berlari menuju kepadaku yang sedang berdiri di dekat tembok mesjid kampus yang mengadap ke arah taman.
“Salamualaikum, Rul ada apa? “ tanyaku padanya.
“Wa’alaikum salam.” ia menjabat tanganku dan kami saling berpelukan takzim. Oh ya dia memang seorang aktivis dakwah kampus, “Kata Fikri tadi di jalan, antum mau ketemu dengan ana kan?” ujarnya.
Astagfirullah, batinku dalam hati, “Ya afwan, ana lupa.”
“Ada apa akhi, ada yang perlu antum bicarakan dengan ana?” tanyanya sahaja.
Aku tersenyum simpul, sebenarnya bingung harus dari mana memulainya. Tapi memang jujur ini adalah hal yang memang aku rasa perlu ceritakan kepadanya. Ku pandangi raut mukanya, sejuk. ciri khas seorang Ikhwan. Hatiku langsung kecut, tak mungkin lagi aku menghindari diri untuk tidak menceritakan ini kepadanya tapi entahlah dalam hati ini masih ada rasa belum siap untuk mengungkapkannya kepada Irul walaupun sebenarnya ia adalah sahabat dekatku.
“Sepertinya antum bingung, akhi.”
Aku kaget, ternyata ia mampu mambaca perasaanku.
“Aku ingin curhat pada antum, akh.”
“Ya silahkan, ana akan dengarkan dengan baik.” Tanggapnya cepat sambil memposisikan tubuhnya sila, yang membuatnya semakin bersahaja dan berwibawa.
“Begini akhi ceritanya.”
****
Perkuliahan Sejarah Peradaban Islam akhirnya selesai juga, tepat sebelum Adzan Dzhuhur berkumandang. Segera aku keluar dari kelas yang hawanya sudah sangat panas itu, lalu menuju ke arah masjid kampus untuk menunaikan Shalat Dzhuhur berjama’ah.
Ku ingat tadi bahwa ada tugas-tugas kuliahan yang harus dicari referensi buku-bukunya. Kesal juga sebenarnya, sebab setelah aku telusuri di perpustakaan kampus, buku-buku itu tidak ditemukan. Terpaksa aku keluar dari sana, lalu menuju toko buku yang ada di sebarang kampus, mudah-mudahan ketemu. Dan alhamdulillah akhirnya memang ketemu juga.
Lalu aku duduk di bangku yang ada di depan sebuah rentalan komputer sambil membaca buku yang baru aku beli itu. Aktivitasku yang masih terfokus pada kuliah pada saat itu membuatku sangat rakus dalam belajar dan meskipun dengan ini aku merasa sendiri menjalani segala aktivitas harian tapi aku berusaha menikmatinya.
Ketenanganku dalam melahap isi buku itu sedikit terusik ketika ada seorang yang datang, ke arah renatalan tersebut yang tentu harus melewati bangku depan yang sedang aku duduki.
“Permisi..” suaranya kecil, dia seorang gadis rupanya..
Aku mendongkakkan kepala, “Ups, maaf, oh, Teh Syifa.” kataku kaget, Teh Syifa adalah kakak kelasku di jurusan.
“Eh, Dika. Maaf ya, kakak mau masuk ke dalam, mau ngerental, afwan ya.” balasnya singkat dengan logat sunda yang kental lalu masuk ke dalam dengan cepat. Aku hanya terdiam, di seorang Akhwat.
Satu jam telah berlalu dan aku masih asyik membaca buku di tempat itu. Ketika halaman terakhir telah aku tuntaskan dan aku telah siap untuk berangkat pulang, ternyata kebetulan bersamaan dengan keluarnya Teh Syifa dari tempat rentalan tersebut.
“Eh, Teh, udah beres?”
“Iya, sekarang mau pulang.”
Tak disangka kita naik angkot yang sama, di dalam angkot kami duduk berjauhan. Dia duduk tepat di belakang si sopir angkot, sementara aku duduk di sisi paling pojok di belakang. Tiba-tiba saat itu seolah ada yang menyengat hatiku, entah apa namanya. Meski mungkin ia tidak mengetahuinya.
Ada rasa dalam hati ini yang muncul tiba-tiba kepadanya!
Mungkin ini cinta.
Ah tapi masa terlalu cepat aku mengambil kesimpulan, toh ini penilaian subjektif diriku.
****
“Begitulah awal mula aku bertemu dengan dirinya.” ucpaku lirih.
Ku lihat Irul mulai mangut-mangut mengerti.
“Aku teruskan ya.”
Irul masih menganggukkan kepala.
***
Di kampus meskipun kita satu jurusan, memang jarang bertemu karena perbedaan waktu kuliah.
Tapi akhirnya aku sempat jua berinteraksi dengan dirinya, Teh Syifa.
Saat itu kami semua sedang kumpul-kumpul di halaman gedung fakultas, aku bersama teman-teman satu kelasku, dan dirinya bersama teman-teman seangkatannya, aku sempat memandangnya sekali dan itu bersamaan dengan pandangan dirinya kepadaku.
Sungguh seperti ada getaran magnet yang menyengat diri ini ketika pandangan ini bertemu.. Astagfirullah, batinku dalam hati.
Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan, namun mata ini seolah ingin yang kedua kalinya, ku bilang pada mataku, tidak boleh, jangan!
Tapi mata ini masih berkeras memaksakan kehendaknya, aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti kehendaknya. Masya Allah. Ku lihat dia sudah tidak memperhatikan diriku lagi.
Entahlah karena selanjutnya aku disuruh masuk ke kantor Ketua Jurusan, aku kaget karena disana sudah ada Teh Syifa.
Ternyata disana aku diminta oleh Ketua Jurusan, bahwa aku dan Teh Syifa diamanahi proyek kecil berupa menterjemahkan beberapa teks berbahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia, mulanya aku menolak, tapi ketua jurusan terlampau memaksa, sehingga terpaksa aku meluluskannya.
Dan masya Allah ternyata Teh Syifa sangat ahli dalam bahasa Belanda, padahal sebelumnya aku berfikir bahwa seorang akhwat tidak mungkin bisa sampai segitu. Tapi ternyata diriku salah.
Di sana ku sempat bercakap-cakap mengenai dirinya, keluarganya.
Dan sejak itu gunung es yang besar dimataku mulai mencair. Kami mulai akrab dan dekat.
****
“Kami jadi akrab akhi, kadang ane pinjam buku kepada beliau.” ceritaku.
Irul diam sejenak, dan ku rasakan kepalanya bergerak kanan kiri pelan, tanda ia menyayangkan apa yang terjadi dalam ceritaku itu.
“Ana lanjutkan?”
“Ya silahkan.”
***
“Aku akan masuk ke Lembaga Dakwah Kampus, Dik.” tuturku pada Teh Syifa, setelah aku akrab dengan dirinya maka sapaanku kepadanya adalah ‘Dik’ dan dia menyapaku dengan sebutan ‘Mas’.
“Aku menyadari Dik, sejak kita jadi akrab beberapa bulan yang lalu, Mas rasakan dirimu jadi agak mengurangi aktivitas dakwah.. kasihan Dik, dakwah itu perlu. Mas memang masih awam terhadap dakwah kampus Dik, maka itu Mas ingin menyelami dakwah kampus, kebetulan dulu Mas aktif di rohis SMA. Mas gak mau dirimu mengalami, apa yang aduh yang pernah dikatakan oleh akang-akang aktivis itu, istilah, eh, istilah, oh ya kefuturan. Iya kefuturan tentu dirimu paham Dik, maksudnya.” uraiku cukup panjang, ku lihat Teh syifa menundukkan kepalanya, kami waktu itu sedang makan di sebuah rumah makan dekat kampus. Memang sejak waktu itu kami jadi sering pulang bersama. Dan kusadari Teh Syifa mulai mengurangi aktivitas dakwahnya. Mungkin karena keberadaan diriku.
Dan aku tidak mau hal itu terus berlanjut, karenanya aku memutuskan untuk masuk ke Lembaga dakwah Kampus untuk memahami Islam dan mendekatkan diri kepada Islam itu sendiri serta mengurangi interaksi dengan Teh Syifa.
Ku kira dia memakluminya, karenanya ia tak menolak aku masuk UKM dakwah tersebut.
***
“Begitulah akhi, selanjutnya ana masuk lembaga dakwah ini dan bisa bertemu dengan orang-orang seperti antum, Fikri, Kang Suher, Kang Zenal, Kang Febri.”
Irul mengangguk-anggukkan kepalanya ada seutas senyum negembang dari bibirnya.
Aku senang, Irul memang seorang pendengar yang baik, “Ceritanya ana lanjutkan ya.”
***
Aku pun akhirnya bergabung dengan Lembaga Dakwah Kampus tersebut.
Hari-hariku kini disibukkan oleh kegiatan mentoring yang lazim harus dilakukan oleh para anggota baru. Di sini ku menemukan kebahagiaan lain, aku mencintai dakwah ini.
Teh Syifa pun terlihat bahagia dengan perubahan yang aku alami ini, secara bertahap kami mengurangi komunikasi.
Cahaya ini hanya bertahan selama beberapa bulan saja, kefuturan itu kembali melandaku, perasaanku merasa sendiri dan merindukan kehadiran Teh Syifa. Entah mengapa kerinduan ini muncul secara tiba-tiba, mungkin karena monotonnya aktivitas dakwah ini atau mungkin diriku yang tak sanggup untuk benar-benar istiqamah.
Maka ku coba menghubungi dia, ku kirimkan sebuah pesan singkat kepadanya, “Aku merindukan dirimu, Dik.”
Dan dia menjawab singkat, “Adik disini juga merindukanmu, Mas.”
Maka aku pun kembali seperti dulu, bertemu dengan dirinya, sering berjalan bersama, bahkan ini mungkin lebih kejam karena saat ini aku (dan dirinya) adalah seorang aktivis dakwah. Jiwaku dan dirinya sebenarnya berontak tentang apa yang kami jalani ini, namun kesendirian yang sehari-hari kami hadapi membuat pemberontakan hati itu tertutup oleh keinginan untuk menghilangkan kesendirian tersebut.
Meskipun aku akui apa yang kami lakukan ini adalah SALAH!
Beberapa kali aku membolos dari agenda mentoring ataupun agenda pekanan di Lembaga Dakwah Kampus itu, karena aku lebih mendahulukan aktivitas bersama dirinya.
Entahlah cahaya itu seakan meredup dari hatiku.
***
“Masya Allah akhi, sampai begitu antum. Mendahulukan untuk bertemu dengan dirinya daripada mendedikasikan diri untuk dakwah?” Tiba-tiba Irul memotong ceritaku, sepertinya ia prihatin dengan kondisiku saat itu.
Aku menundukkan kepalaku, malu.
Beberapa saat kami terdiam sejenak.
“Ceritanya sudah selesai atau masih berlanjut?”
“Masih ada, akhi.”
***
Dan cahaya itu kembali menghampiriku.
Saat diriku diamanahi oleh Ketua Umum untuk memegang salah satu jabatan dalam dakwah dan aku mulai meningkat kepada mentoring lanjutan yang biasa disebut dengan liqo.
Hatiku berontak malu, aku harus fokus dalam dakwah ini.
Aku mencoba benar-benar fokus dalam dakwah ini.
Setiap hari kini aktivitasku adalah kuliah dan dakwah, pertemuan dengan Teh Syifa kembali berkurang. Walau kadang sejujurnya rasa rindu kepadanya muncul.
Hingga kejadian itu muncul.
***
“Apa akhi, mengapa berhenti cukup lama.”
Aku menarik nafas panjang.
***
“Mas aku akan menikah dengan Fahmi.” ucap Teh Syifa lirih.
Aku kaget!
“Tapi, Dik,” ku tak setuju, aku terdiam memendam rasa marah.
Ku tahu, sebenarnya selama aku mengenal Teh Syifa, sebenarnya Teh Syifa pun ada seorang laki-laki yang menyukainya, yang aku tahu laki-laki itu lebih lama mengenal Teh Syifa, sejak SMA kalau tidak salah.
Namanya FAHMI!
Suasana Masjid Al Ukhuwah yang ada di dekat gendung pemerintahan Kota Bandung itu seakan hening.
Aku terdiam.
“Mengapa Dik, mengapa harus Fahmi?”
“Adik masih belum bisa melupakan luka yang pernah Mas lakukan kepadaku.” katanya sendu.
Aku tersentak, aku ingat, dulu pernah melukainya, aku khilaf! Akhirnya itu menjadi masalah besar, karena merembet kepada banyak hal. “Adik lelah Mas, pada saat itu.” katanya.
Aku tahu luka ini mungkin sulit untuk dimaafkan tapi mengapa harus sampai begini.
“Adik sadari, sejak kejadian itu sebenarnya Adik semakin tahu, siapa yang harus Adik pilih. Bukan semata karena penghianatan dari Mas, tapi juga karena Adik melihat Fahmi belum pernah menghianati Adik. Tapi Mas, tolong jangan berfikir bahwa Adik mempermainkan Mas, Adik juga mencintai Mas, mungkin jika Adik tidak mencintai Mas, ketika kejadian itu dulu Adik sudah menjauhi Mas. Tapi Adik tidak bisa! Karena Adik mencintai Mas!”
“Cukup!” aku sudah tidak bisa lagi mendengarkan kata-katanya. Luka diriku, hingga akhirnya aku mengatakan apa yang sebenarnya telah aku pendam lama.
***
“Kenapa antum kembali diam akhi.” Lanjutnya, “Apa yang antum pendam selama ini akhi.?”
“Ya sebenarnya ana memang mencintainya akhi. Afwan jiddan seharusnya ana mampu menyingkirkan rasa itu, tapi entah mengapa tidak bisa. Ana malu akhi, seharusnya ana benar-benar menjadi seorang Ikhwan. Tapi ternyata salama ini ana belum mampu untuk menjadi Ikhwan yang baik.” Tuturku lemah.
Irul mengangguk takzhim, “Lalu bagaimana dengan Akhwat tersebut sekarang?”
“Esok, dia akan menikah dengan Fahmi, akhi.”
“Antum akan datang kepernikahannya?”
Aku hanya diam, bingung.
“Dia mengundangmu untuk datang?”
Aku hanya mengiyakan dengan anggukkan kepala pelan.
Irul tersenyum teduh, lalu berkata, “Akhifillah, jangan bersedih. Perlakukanlah ia seperti muslim yang lain. Jika dia mengundang dan antum mampu untuk hadir maka hadirilah. Akhi, bebaskan fikiran antum dari lintasan fikiran yang mungkin saja dari Syaithan. Insya Allah ini adalah bentuk kasih sayang Allah supaya antum dapat fokus kuliah dan dakwah. Insya Allah jika sudah waktunya Allah akan memberi antum yang lebih baik dengan jalan yang baik jadi jangan khawatir.” Sambil menepuk bahuku, Irul berusaha membesarkan hatiku.
***
Kesedihan itu masih juga melanda hingga malam menjelang hari esok. Ya hari di saat Syifa akan menikah dengan Fahmi. Aku masih teringat akan kenangan-kenangan dahulu dengannya. Sungguh ku tak kuat untuk memendam rasa ini seorang diri. Maka setelah shalat isya ku hubungi Murobbi-ku.
Kuceritakan segalannya kepada Sang Murobbi, mengenai cintaku, mengenai dirinya, mengenai segala hal yang berkaitan dengan itu. Kusadari dengan ceritaku ini, tentulah ada reaksi dari beliau, dan memang sebagai akibat kekhilafan ku selama ini, Murobbi menghukumku. Dan aku menerima, karena memang menginginkan ketenangan hati.
Kata-kata terakhirnya, tak jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang diucapkan Akhi Irul tempo hari.
Maka aku pun berazzam untuk hadir dalam walimahnya sesuai dengan permintaannya, yaitu saat sebelum akad nikah dilaksanakan.
***
Kabut belum juga beranjak dari pagi sebab semalaman hujan mengguyur kota Bandung. Di tengah dinginnya pagi ini ku masih bisa mendesah pelan.
“Dan hujan membasahi bumi, dan dingin menembus tulang, dan nafas perlahan beku. Dan aku, terdiam mentafakuri alam, dingin ini adalah anugerah-NYA, gerimis ini adalah kuasa-NYA, nafas ini adalah milik-NYA.” gumamku lirih.
Sebenarnya berat bagiku untuk menghadiri akad nikah seseorang yang sebelumnya pernah ku cintai, berat sungguh berat!
Namun kembali ku teringat nasehat Murobbiku, bahwa rasa berat itu bisa jadi hadir atas dorongan Syaithan.
‘Audzubillah, bisikku dalam hati.
Maka dengan segenap kekuatan yang masih ada, ku berusaha untuk menata hati dan menunaikan undangan dari Syifa.
***
Tak sampai pukul 8 pagi, ku telah berada di belokan jalan rumah Syifa yang menjadi tempat pernikahan. Ku lihat ada janur kuning yang melengkung di pinggir jalan.
“Syifa dan Fahmi” begitu tulisan sederhananya. Aku membatin, “Seharusnya namaku yang tertulis disana, bukan Fahmi tapi, astagfirullah diriku tak berhak mengharapkan itu!” aku menyesali diri telah berfikir yang tidak-tidak.
Ku susuri jalan itu, seakan jauh sekali jarak yang harus ku tempuh untuk mencapainya. Sepanjang perjalanan tak henti ku memohon untuk dikuatkan hati.
Ada fikiran untuk merubah rencana dan kembali pulang, tapi,” Dika,” bisik hatiku, “Jika kamu merasa seorang kesatria, datangilah dirinya dan ucapkanlah doa yang baik untuk kebahagiaan dirinya dengan Fahmi! Kamu harus menunjukkan bahwa dirimu adalah seorang kesatria yang tangguh yang menyakini akan kekuasaan Allah. Bukankah dirimu telah menyadari bahwa apa yang selama ini kamu lakukan adalah salah! Maka saat ini adalah waktu untuk memperbaiki semuanya! Dia sudah mengundangmu, dan dirimu sanggup untuk menghadirinya! Maka hadirilah! Bersikaplah kesatria! Bersikaplah seperti seorang Ikhwan sejati! Kamu ingin menjadi Ikhwan sejati bukan? Tidak seperti yang sebelum ini dirimu lakukan, bukan?”
***
Deru motorku perlahan hilang, aku telah sampai di pelataran Masjid Al Hasanah, yang tak jauh dari tempat pernikahan. Sungguh ku tak kuat untuk melangkahkan kaki. Serasa ada paku yang menancap di kaki ini untuk bergerak.
Tak jauh dari sana ternyata ada seorang sahabatku yang juga sahabat Syifa telah hadir duluan, Putri, nama sahabatku itu. Dia sahabatku sejak SMA dulu. Dan sekarang kuliah di kampus yang sama denganku. Bahkan satu fakultas.
Ku hampiri dirinya yang sedang berdiri sendirian, “Assalamu’alaikum, Tri, sehat?”
Putri menolehkan pandangannya kepadaku, sepintas ada rasa kaget dalam raut wajahnya melihat kedatanganku. Dan aku menyadari itu.
“Ya, ini aku Tri, Dika. Dika Cahaya Semesta.” ucapku sedikit bercanda. Semata untuk menghilangkan sedikit murungku.
“Eh, afwan, iya wa’alaikumsalam. Maaf Ka, saya kaget barusan. Gak mengira kamu ternyata akan datang.”
Aku tersenyum kecil, sedikit perih memang.
Kami tak bercakap lama, sebab setelah itu langsung menuju ke tempat walimahan.
Ku bertemu dengan Ibunya Syifa, sedikit berbincang dengan beliau, seraya beliau meminta maaf bila ada yang kurang berkenan padaku. Lantas diajaknya aku dan Putri untuk menemui Syifa.
Tak lama kemudian, ku telah berada di depan pintu tempat dimana Syifa dengan busana pernikahan sedang duduk termenung sendiri. Sungguh, saat melihatnya ada rasa tak rela dalam hati ini, perasaan berat yang melanda diriku. Menyaksikan seorang gadis yang sejatinya aku cintai dan ia pun mencintaiku.
Syifa mengetahui kehadiranku, ia berusaha melepaskan senyumnya untukku, tapi sulit. Maka yang keluar adalah raut wajah yang sedih, sesedih hati ini saat dipandangi olehnya.
“Dik, Mas memenuhi permintaanmu untuk datang ke sini. Datang atas permintaanmu ke walimahanmu sebelum akad nikah dimulai.” ucapku dengan nada yang dikuatkan seraya menundukkan pandangan.
“Terima kasih, Mas.” jawabnya lirih. Meski ku tak menatapnya langsung, tapi hatiku merasakan matanya meneteskan air mata.
Sungguh Ya Allah, jika memang Engkau mengijinkan, ingin sekali aku berteriak saat itu, berteriak untuk mengungkapkan kesedihanku!
Keadaannya sungguh-sungguh menyiksa batin sebenarnya, seakan diriku dibiarkan sendiri disana.
Meskipun ku sadari ini hanyalah egoku, karena diriku belum sepenuhnya menerima keadaan ini. Bukankah seharusnya aku pun ikut berbahagia atas pernikahan Syifa, karena dengan itu ia akan terbebas dari fitnah-fitnah yang sebelumnya selalu menjerat dirinya, dan menjerat diriku juga. Bukankah dengan adanya pasangan yang halal bagi dirinya adalah sebagai sebuah upaya memperbaiki diri pula. Lantas mengapa aku merasa tak rela. Seharusnya sikap tak rela itu enyah dari diriku. Tak selayaknya aku menghalangi apa yang sekarang ini sedang terjadi.
Maka aku kembali duduk tenang di kursi yang telah disediakan. Entah ini disengaja atau tidak, tempat duduk ku pas sekali dengan tempat pelaminan dimana Syifa duduk diatasnya. Sambil menunggu kedatangan mempelai laki-lakinya. Sesekali ia mencuri pandang untuk menatap diriku, dan beberapa kali kami saling bertatap, seakan merasa kesedihan yang dialami masing-masing.
Sejujurnya, aku menyesal sekali atas semua yang telah terjadi dahulu. Mengapa harus datang rasa cinta sebelum waktunya. Mengapa aku harus menyemai benih-benih hati tidak pada ssaatnya. Ku sadari semua itu adalah kesalahanku belaka. Semua itu adalah akibat ketidak sabaran diriku dalam mengendalikan diri. Ya semua itu adalah salahku!
Dan kini, harus ku terima segala akibat kecerobohan dan kenekatanku itu dengan segala rasa sakit di hati. Sebenarnya tak seharusnya hati ini merasakan sakit, tak seharusnya hati ini ikut merasakan akibatnya. Dan kembali, semua adalah salahku yang telah melibatkan hati dalam kisah ini, yang telah menjerumuskan hati dalam kubangan cinta pada makhluk. Mengapa aku bisa sampai sebodoh ini, membiarkan segalanya tenggelam dalam kubangan dosa dan dosa. Dan kini, kembali, aku sadari sepenuhnya aku menuai petaka atas kebodohanku itu.
Namun, apakah masih ada setitik cahaya untukku kembali kepada-NYA, membangun kembali diri ini agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Seorang-Ikhwan-Sejati?
Aku mengerti, tak seharusnya manusia lepas dari pengharapan kepada Allah namun seiring dengan itu harus tertanam rasa takut kepada-NYA dan juga mampu bertawakal atas segala kehendak-NYA.
“Ka, ayo kita ke Masjid, mempelai laki-lakinya sudah datang.” suara Putri membuyarkan lamunanku.
Aku beranjak dari kursi dengan perasaan hati yang ditabah-tabahkan, Ya Rabb berikan ketegaran kepada hamba, bisikku dalam hati.
Aku bergabung dengan rombongan mempelai wanita, ya aku bersama dengan keluarga Syifa. Di sampingku ada seorang bapak, mungkin dia Paman Syifa, menyapaku.
“Nak, temannya Syifa?”
Aku hanya tersenyum tipis, mengganguk.
“Terima kasih, sudah berkenan hadir.” Lanjut bapak tersebut, “Syifa pernah bercerita kepada Bapak bahwa sebenarnya dia juga menyukai seseorang di kampusnya dan berharap sekali pada pagi ini orang tersebut datang menghadiri pernikahannya. Bukan, bukan untuk melukai hati orang itu tapi sebagai ungkapan terima kasih atas kebersamaan dan perlindungan yang telah diberikannya kepadanya selama ini. Tapi dari tadi Bapak belum melihat dirinya. Hhhmm, mudah-mudahan dia baik-baik saja. Bapak sendiri bisa merasakan perasaannya andaikata dirinya tidak hadir.” Tuturnya dengan suara berat.
Ya Allah, ingin sekali aku berteriak dan berterus terang kepada bapak itu, bahwa orang yang dimaksud Syifa adalah diriku, Dika Cahaya Semesta! Bahwa orang yang dimaksudkan itu kini sudah hadir memenuhi permintaan Syifa, bahwa ah, Ya Allah berat dan tak berani aku mengatakan kepada Bapak tersebut kecuali hanya ku balas dengan senyuman saja. Aku memilih diam saja.
Waktu seolah berjalan lambat untuk mengikuti prosesi pernikahan ini.
Ku sejenak pejamkan mata, hm rasanya aku sendirian di sini, rasa-rasanya memang benar-benar sendirian.
“Saya terima nikahnya AsSyifa Shafiyyatun Nazma binti Ahmad Hakim dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat 10 gram di bayar tunai..”
Tiba-tiba mataku terbuka, ketika suara bariton Fahmi mengucapkan kalimat ijab kabul tersebut, disusul dengan gemuruh suara, “ Alhamdulillah, barakallahu laka wabaraka alaika, jama’a baikhuma fi khair.” oleh seluruh hadirin di dalam masjid tersebut.
Ku tarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya sepanjang yang bisa aku lakukan.
“Ka, kamu gak kenapa-napa?” tanya Putri kepadaku.
Aku sedikit tersentak kaget, namun dengan cepat bisa mengkondisikan diri dan menjawab, “Oh, iya alhamdulillah gak apa-apa kok. Santai saja, Tri.” seraya ku tambahkan seulas senyum namun tetap saja seakan senyumku ini seperti dipaksakan.
Kemudian seluruh hadirin di dalam Masjid tersebut beranjak keluar menuju tempat resepsi pernikahan di rumah Syifa. Di sana, semua sanak saudara dan para tamu undangan secara bergiliran mengucapkan selamat kepada pengantin baru ini. Putri menoleh ke arahku sejenak, seolah bertanya apakah mau sekalian sekarang mengucapkan selamatnya ataukah nanti saja.
Aku menghela nafas panjang, “Ok, Tri, sekarang saja.”
“Kamu yakin, Ka?”
“Insya Allah.” jawabku sambil berusaha tersenyum.
Akhirnya kami turut berjalan dibelakang antrian, aku melihat Syifa tersenyum menyambut ucapan selamat dari para tamu. Aku pikir, apakah itu senyum tulus yang bahagia atau sebuah senyuman yang dipaksakan akibat hatinya sebenarnya sedang bersedih. Tapi, ya sudahlah aku tak usah pikirkan itu karena memang bukan hak ku untuk menilai dan kewajibanku lah untuk tetap berprasangka baik.
Maka, tibalah momen aku berhadapan dengan Fahmi dan Syifa. Ya Allah, sungguh aku berusaha keras meredam gejolak di hati, berusaha untuk menahan emosi jiwa yang sudah membuncah untuk keluar. Berusaha untuk menawan hati dari kesakitan yang lebih parah. Berusaha untuk berjiwa kesatria dengan merelakan Akhwat yang aku cintai memulai hidup bahagia dengan suaminya, lelaki yang halal baginya.
Waktu seolah berhenti bergerak saat itu, suasana seolah mendadak hening hingga detak jantungku seakan terdengar jelas di ruangan ini, aku menarik nafas panjang sambil mencoba menahan air mata agar tidak menetes di hadapan keduanya.
“barakallau laka wabaraka alaika jama’a bainakuma fi khair, Insya Allah.” ucapku lirih, sebutir air mata akhirnya menetes juga, ku tatap wajah Fahmi yang seketika itu menunduk, “Kang, antum harus menjadi imam yang baik bagi Syifa, jaga dia selalu. Jangan membuatnya menangis, jangan sampai dia bersedih akibat perilakumu, antum harus mampu menjadi suami terbaik bagi Syifa. Ya Allah semoga Engkau limpahkan kebaikan pada pasangan ini, barakah pernikahannya, keluasan rizki silaturrahimnya, ketenangan hati dalam keimanannya.” do’aku pelan bagi keduanya. Ada embun yang menutupi kacamataku lagi, hanya setetes mungkin namun itu telah dapat mengharu biru hatiku. Aku pun beranjak pergi dengan muka tertunduk sedih diiringi tatapan haru dari tamu-tamu yang lainnya.
Ku sadari kini, Syifa telah menemukan pasangan hidupnya, pernikahannya adalah benteng bagiku untuk tidak lagi memikirkannya. Aku tak ingin lama di sana, langsung saja aku pamit pulang, ku nyalakan motor pelan-pelan. Setelah cukup jauh dari lokasi walimahan dan yakin suara knalpotku tidak akan terdengar dari sana, ku kebut motorku sekencang-kencangnya! Melampiaskan kesedihan hati, meluapkan segala emosi yang tertahan selama di tempat itu.
“ ALLAHUAKBAR!” Ku berteriak keras ketika tiba-tiba muncul mobil AVP menyalip dari arah jalan yang berlawanan dengan kecepatan kencang mengejutkanku.
TIT!
CRITS!
CRASH! DAR!
Aku tak sadar apa-apa lagi, hanya merasa ringan, ringan.
***
Sayup-sayup ku dengar suara seorang Ikhwan yang sedang membaca Al Qur’an. Tilawahnya merdu sekali dan membuat hatiku menjadi sangat tenang. Seperti seorang musafir yang terbangun dari tidur panjangnya yang melelahkan di padang sahara oleh titik-titik hujan yang datang dengan tiba-tiba atau dari air yang memancar dalam perut bumi untuk melepaskan dahaganya. Tapi, dimanakah diriku sekarang? Apakah aku masih hidup? Apakah aku masih di ijinkan Allah untuk menghirup nafas di dunia ini? Yang aku tau sebelumnya adalah aku sedang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi sepulang dari walimahan Syifa kemudian ada mobil yang menyalip dari arah berlawanan dan crash! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Apakah, kini aku ada di syurga-NYA? Namun, bagaimana mungkin aku bisa secepat ini di syurga padahal aku sadari banyak dosa dan dosa. Banyak hal yang harus aku perbaiki, begitu menumpuk kelalaian yang aku perbuat dan harus ku ubah agar Allah memaafkanku. Meskipun begitu, apakah aku sudah mati? Terasa gelap dan pusing sekali aku. Sesak sekali nafas ini, tak leluasa untuk bergerak seolah tanganku terikat. Apakah yang mengikatku ini adalah Rokib dan Atid, sang malaikat alam kubur. Aku merinding merasakannya, aku takut! Benar-benar takut bila harus ditanya sedemikian rupa oleh kedua Malaikat itu dan bila ternyata aku tak memiliki jawabannya, maka kemanakah akhir perjalananku nanti berakhir? Astagfirullah.
Ku coba untuk membuka mata namun sangat berat kelopak mata ini mengatup. Perlahan kembali ku coba, terus mencoba. Ku pikir, setitik cahaya yang muncul dari lorong-lorong yang gelap.
“Allah. Allah.” sekuat tenaga aku mengeluarkan suara namun tetap saja sangat pelan untuk aku dengar sekalipun.
Lalu sebuah suara kecil menyadarkan aku.
“Alhamdulillah, akhi, antum sudah siuman sekarang.”
Ku kembali mencoba membuka mata, samar-samar ku lihat itu adalah wajah yang sangat ku kenal.
“Kang Ahdir.”
Dia adik angkatanku di kampus, aku bingung kenapa dia ada di sini?
Ahdir tersenyum, sepertinya dia tau apa yang sedang ku pikirkan.
“Iya, akhi. Ini ana Ahdir. Tadi ana dapat telepon dari Akh Irul. Ana di minta ke rumah sakit, ternyata beliau bilang kalau antum tabrakan. Dia minta ana datang dan memohon maaf dia tidak ikut karena ada kesibukan lainnya.”
“Siapa yang menelepon Akh Irul?” tanyaku.
“Sepertinya warga sekitar yang menolong antum akh, via hp antum.” jawabnya sambil menaruh al Qur’an di meja.
“Afwan, akh, keluarga ana sudah di hubungi?”
Ahdir menggangguk pelan, “Iya, keluarga antum sedang dalam perjalanan kemari.”
Aku mencoba untuk menggerakan tanganku, tapi, “Astagfirullah, aduh,”
“Kata dokter, tulang kecil di tangan kanan antum patah.”
“Apakah ana bakalan lama di rawat di sini, akh?”
Ahdir mengelengkan kepala, “Entahlah, dokter belum mengatakan apapun.”
“Ya Allah, ana kepikiran semuanya akh, kuliah, bimbingan maupun amanah yang lainnya..” keluhku.
“Tenang, akhi. Semua akan baik-baik saja.”
“Tapi,” ku pandangi wajah sahabatku ini. Tatapannya sangat meneduhkan hatiku yang sedang gelisah dan hampir putus asa ini.
“Akhi, ingatlah Allah. Antum harus bersyukur kepada-NYA karena diselamatkan dari musibah ini. Kata para saksi mata, dengan situasi kecelakaan yang antum alami itu, adalah sebuah mukjizat antum bisa selamat. Karena bagian depan motor antum hancur, lampunya pecah berkeping-keping sementara bemper AVP yang menabrak antum itu terkoyak dan penyok. Namun kata mereka, tubuh antum seolah terbang lalu jatuh beberapa meter di pinggir jalan. Lihatlah, kacamata antum masih utuh, tidak ada bekas benturan sama sekali. Sementara helm antum pun kacanya tidak pecah. Subhanallah, akhi, Allah melindungi antum!” urainya menyakinkan aku akan kebesaran Allah.
Benarkah? Allahuakbar! Ya Allah, Engkau masih melindungi hamba, Alhamdulillah Ya Allah, Alhamdulillah.. batinku dengan rasa syukur dan tetesan air mata meleleh mengaliri mukaku.
Ku tarik nafas masygul, lalu ku bertanya sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari kondisi yang ku alami saat ini.
“Sudah berapa lama ana ada di sini, akh?” tanyaku.
“Sudah hampir dua jam, akhi. Sabarlah, insya Allah rasa sakit akan berangsur hilang bila engkau terus mengingat Allah. Kita dzikir bersama-sama.” Ahdir menasehatiku dan itu membuat hatiku lebih tenang.
Setelah itu, tirai yang menutupi kasur rawatku ada yang menyibaknya. Aku tersenyum, ternyata yang datang adalah Kang Andi. Dia Murobbiku.
Dengan tergopoh, Kang Andi menghampiriku, Ahdir mempersilahkan beliau untuk duduk sementara dia mengambil kursi lainnya. Sungguh, ustadz ku ini orangnya sangat perhatian dan selalu bisa mengembalikan hatiku pada ketenangan hakiki. Sesuatu yang saat ini ku akui, ingin aku raih kembali dengan lebih pasti, mengharapkan naungan Ilahi.
“Bagaimana kondisi antum, akhi?” sementara matanya langsung melihat tanganku yang di gips. “Tangan antum patah?”
Aku mengangguk pelan.
“Syafakallah ya akhi, akan segera sembuh, Insya Allah.” do’anya untukku.
“Aamiin Allahuma aamiin.” ku sambut do’anya dengan sepenuh hati.
“Kuatkan fisikmu, akhi, ana yakin antum mampu!” kata Kang Andi, “ana merasakan, apa yang saat ini sedang antum rasakan.” lanjutnya menyakinkan aku agar tidak terus dirudung dalam kesedihan.
Aku tau, beberapa tahun yang lalu Kang Andi pernah kecelakaan motor pula, tubuhnya terpental beberapa meter. Sempat mengalami pendarahan di otaknya, sementara beberapa bagian tubuhnya retak. Sempat koma selama beberapa minggu. Namun kemudian Allah menyelamatkan nyawa beliau meskipun motornya tak bisa diselamatkan lagi karena kondisinya sudah hancur dan tak dapat diperbaiki kembali. Banyak orang akan berfikir bahwa kemalangan sudah menimpa Kang Andi. Jutaan rupiah harus dikeluarkan oleh dia dan keluarganya untuk membiayai pengobatan dan bagi kesembuhannya. Tapi, Kang Andi berusaha membantah penghakiman orang-orang itu. Dia ingin menunjukkan bahwa kecelakaan yang menimpanya adalah sebuah musibah, bukan kemalangan. Dia yakin, selalu ada hikmah di balik segala peristiwa yang terjadi atas ijin Allah. Dia pernah berujar, bahwa apa yang menimpa dirinya saat ini tidaklah sebanding dengan apa yang menimpa saudara-saudara se-aqidahnya di luar sana yang mendapatkan banyak cobaan dan musibah namun lebih tegar dan lebih kuat menerimanya sebagai ujian dari keimanan.
Maka Kang Andi memanfaatkan waktu perawatan dan pemulihan kecelakaan itu dengan sebaik-baiknya. Dia berusaha keras menghadapi ancaman kerusakan otaknya dengan menghafal Al Qur’an. Ya, selama masa perawatan dan pemulihan itu dia gunakan waktunya untuk terus menerus menghapal Al Qur’an! Berminggu-minggu, berbulan-bulan dia habiskan masa istirahatnya itu untuk semakin dekat dengan Al Qur’an. Dia giat memperbaiki tahsin, memperbaiki bacaan al Qur’an. Setiap hari, ruang perawatan tempat dimana dia berbaring senantiasa terdengar lantunan kalam Ilahi. Dan, subhanallah, aktivitasnya ini membawa berkah yang luarbiasa. Melebihi pengharapannya, ada beberapa perawat di sana yang tersentuh hatinya dan akhirnya bertaubat lalu semakin tekun mengkaji Islam, ada seorang perawat mengucapkan syahadat setelah sebelumnya selalu menangis karena tersentuh hatinya manakala mendengarkan Kang Andi membacakan ayat-ayat Allah ini, dan pasien-pasien yang ikut di rawat di ruangan itu mengalami proses penyembuhan yang meningkat dan lebih cepat daripada perkiraan semula.
Dan yang paling luarbiasa adalah apa yang dilakukan oleh bapak dokter yang merawat Kang Andi. Setelah mengetahui bahwa Kang Andi sering menghafal Al Qur’an selama masa penyembuhan dan suaranya merdu serta menyentuh hati dan mampu mengajak orang lain senantiasa ke arah kebaikan dan mengingat Allah Azza Wa Jalla, maka bapak dokter itu mengatakan akan mengganti dan menanggung seluruh biaya perawatan Kang Andi. Dan, melamarkan Kang Andi untuk putrinya yang baru selesai program profesi Dokter di Fakultas Kedokteran sebuah Universitas Negeri di Bandung. Karena sang bapak dokter tau, anaknya ini mengharapkan seorang suami yang hafidz Al Qur’an dan bisa menjadi teladan bagi banyak orang serta tentu kepada keluarganya. Ternyata Akhwat itu merupakan salah satu muslimah teladan di kampusnya. Hingga akhirnya kini, beliau sudah dikarunia seorang anak lelaki berusia 1,5 tahun yang diharapkan menjadi embrio dari tunas-tunas generasi rabbani.
Subhanallah, sungguh luar biasa. Betapa agung cara Allah untuk memberikan kebaikan kepada setiap hamba-NYA yang bersyukur. DIA menyibakkan rahasia dari arah yang tak pernah bisa ditebak oleh hamba-hamba-NYA.
“Akhi, Akhi, kenapa antum tersenyum-senyum sendiri?” tiba-tiba suara Ahdir mengagetkanku, sementara Kang Andi keheranan melihatku dari tadi tersenyum dan melamun seorang diri.
Aku tersenyum simpul, “Nggak, nggak apa-apa kok, hehe.”
Kang Andi dan Ahdir terlihat bahagia karena aku sudah bisa tersenyum lagi.
***
Ketika suasananya semakin hangat, berturut-turut hadir Akh Irul, Akh Yasfin dan Akh Zauhar.
“Akh, antum yang semangat ya akh, jangan pernah putus asa dengan pertolongan Allah!” tutur Akh Irul. Suaranya sangat serak-serak basah.
“Pokoknya kita semua selalu berdoa yang the best buat antum lah, ane akan supply juga obat-obatan herbal buat kesembuhan ente.” Sahut Akh Yasfin yang memang bergerak dalam dunia herbal sambil kuliah di kampus.
“Hush, pelanlah kau bila bercakap, awak khawatir, hati-hati nanti para perawat menoleh pada kita.” sambung Akh Zauhar yang orang Padang itu. Beliau memang orangnya cukup hati-hati dalam melihat situasi tapi juga selalu bertindak cepat dan tepat.
“Iya, syukran pokoknya. Jazakumullah khair.” ku balas ucapan do’a dari mereka dengan antusias.
Aku menerawang sejenak, menatapi langit-langit rumah sakit ini yang bercatkan putih bersih lalu tiba-tiba saja ku teringat sesuatu.
“Ustadz.” kataku.
Kang Andi dan teman-teman lainnya sontak terfokus memandangku.
“Jika seorang muslim yang rajin beribadah, shalat tepat waktu, tilawah al Qur’an tak pernah terlewat, shadaqah senantiasa didermakan, membantu setiap orang tak pernah lupa, dan tekun belajar agama apakah akan menjamin bahwa dia itu adalah orang shalih?” tanyaku.
Semuanya terdiam, sementara Kang Andi tersenyum, aku tau maksud senyumnya, dia memintaku untuk meneruskan perkataanku itu. Dan ku akui memang belum selesai merampungkan pertanyaannya.
Setelah membenahi bantal di bawah kepalaku dan dengan berhati-hati menggerakkan tubuh supaya tidak menyakiti tangan kananku yang patah, ku melanjutkan pertanyaannya.
“Jika ternyata semua itu belum menjadi jaminan bahwa seseorang bisa menjadi baik akhlaknya. Jika upaya kita untuk mengaji, shalat, beribadah, berbuat baik dan lain sebagainya belum mampu mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, mengapa kita harus melakukan semua itu?”
Ku lihat Kang Andi mengirup nafas panjang, kemudian menjawabnya.
“Akhi, jika misalkanlah seseorang yang rajin beribadah dan beramal shalih saja masih belum tentu baik akhlaknya, apalagi seseorang yang belum pernah beribadah sama sekali?!”
Jawaban beliau membuatku tertegun, merenung.
Kang Andi meneruskan kembali, “Lagipula, belum tentu yang tidak mendapatkan manfaat dari ibadah dan amal shalihnya itu banyak jumlahnya. Hidayah itu memang datangnya dari Allah, dan yang bisa kita lakukan adalah berusaha menjemput hidayah tersebut. Tentu setiap langkah kita guna menjemput hidayah itu akan mendapatkan nilai yang adil dari Allah subhanahu wa ta’ala.”
“Iya, ane setuju..” timpal Akh Yasfin, “Akhi, segala sesuatu itu berasal dari Allah, sungguh musibah yang sebenarnya adalah ketika tidak ada lagi seorangpun yang mengingatkan kita manakala kita melakukan sebuah dosa maupun kesalahan hingga pada akhirnya kita berkubang dalam kemaksiatan yang semakin lama semakin dalam karena tak ada seorangpun yang mau mengulurkan tangan untuk membantu kita keluar dari kubangan lumpur itu.”
Subhanallah, aku terharu, semua saudara seimanku ini tak sedikitpun memberiku kesempatan untuk berlama-lama berada dalam kegoyahan iman. Sejenak ku lihat Akh Ahdir ijin ke luar untuk bertemu seorang perawat, entahlah yang keduanya bicarakan.
“Dan,” tambah akh Irul, “Ketika seseorang merasa kehilangan pelita hidupnya, andai saja dalam hatinya masih ada secuil keimanan walaupun sekecil atom, niscaya Allah akan mengutus seorang saudara untuk datang mengingatkan dan menasehati dia.”
Spontan setelah itu kami semua menoleh ke arah Akh Zauhar.
“Lho, Hei, apa pula ini?” sergahnya, kami semua tersenyum, lalu beliau menyambung “Pokoknya, Akh Dika, kita semua adalah saudara seimanmu, meskipun kita manusia sama punya khilaf dan dosa, namun ketika berkumpul bersama layaknya hari ini adalah lebih baik daripada menyendiri di rumah mengurung diri. Karena kita bisa saling mengingatkan tentunya, bisa saling mendo’akan dan saling menyemangati untuk tidak pernah lelah melakukan segala perintah Allah dan menjauhi laranganNya.”
Ya, seperti inilah yang aku harapkan. Azzamku untuk berubah, azzamku untuk memperbaiki diri. Dan, dengan bersama sahabat-sahabatku ini, hidup menjadi lebih indah dan cerah untuk di songsong.
“Ana kecewa sama antum, akhi!” sekonyong-konyong suara Ahdir terdengar cukup keras menghentak diriku.
Sontak semua mengarah pada Akh Ahdir yang baru saja masuk kembali ke ruangan ini.
“Ada apa ini?” Tanya Kang Andi berusaha menenangkan.
“Akh Dika, ana kecewa sama antum! Ana tak menyangka jika antum selama ini tak seperti yang di bayangkan. Ini, lihat! Ini apa?!” cecar Akh Ahdir sambil menodongkan dompetku.
Astagfirullah, yang dia tunjukkan adalah foto seorang akhwat, Teh Syifa!
Sementara Kang Andi dan sahabatku yang lainnya terhenyak, tak percaya dengan apa yang Akh Ahdir temukan dari dalam dompetku.
“Dia siapanya antum, akhi?!” Tanya Akh Ahdir dengan nada menelisik. “Antum Ikhwan akh! Yang tau batas-batas dalam agama, yang mengerti bagaimana cara interaksi dengan seorang akhwat! Yang tau harus bagaimana berperilaku dihadapan mereka! Tapi, apa yang antum lakukan ini?!”
Aku terdiam sejenak, beristigfar kembali dalam hati, Akh Ahdir memang berwatak keras, khas orang Indonesia timur karena dia berasal dari Sulawesi Tengah.
Ku pandangi satu persatu semua wajah teduh itu. Kang Andi dan Akh Zauhar duduk di kusi, sementara Akh Yasfin dan Akh Ahdir berdiri karena tidak ada lagi tempat duduk. Semuanya menantikan jawabanku.
“Afwan akhi, mengapa antum lancang membuka dompet ana? Tapi, ya sudahlah karena semua sudah terjadi.” Belaku.
Aku menghela nafas sebentar, ada rasa sakit di dadaku ini yang barangkali akibat tabrakan itu. Namun, aku berupaya untuk menjelaskan sejujurnya kepada mereka. Supaya tidak lagi muncul salah paham, karena sungguh aku telah mengazzamkan diri untuk berubah dan memperbaiki semua kesalahan yang pernah ku lakukan.
“Akhi, kenapa antum diam lama sekali?” cecar Akh Ahdir.
“Ahdir, jaga sikap antum! Dia terbaring lemah, bersabarlah barang sebentar!” tegur Akh Zauhar mengingatkan Akh Ahdir. Matanya menyalak marah kepada adik angkatan yang satu ini.
“Pelan-pelan suaranya. Jaga sikap kalian, ini ruang yang memerlukan ketenangan.” Lerai akh Yasfin mencoba mengendalikan situasi.
Sementara aku berusaha keras untuk menjawabnya.
“Ana akan berterus terang akhi, akhwat dalam foto itu adalah seorang yang pernah ana kagumi. Yang pernah mengisi hidup ana dengan cinta. Yang pernah membuat segalanya menjadi ceria. Namun, ternyata semua itu salah. Semuanya belumlah tepat pada waktunya. Ana terlalu gegabah dan tergesa menikmati ini. Hingga Allah menegur ana. Dan ana mohon, jangan berburuk sangka lagi menyoal foto ini. Ana belum membuangnya bukan karena masih sayang padanya, atau mengharapkan dirinya tapi karena belum sempat. Dan antum semua harus tau, akhwat ini sekarang sudah menikah.”
Secara khusus aku memandangi Kang Andi kemudian Akh Irul.
“Ustadz, dan akh Irul, ya, inilah Teh Syifa, akhwat yang sempat ana ceritakan tempo hari. Akhwat yang tadi pagi sudah melangsungkan akad pernikahan dengan Ikhwan yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Jadi ana mohon, tolong jangan berburuk sangka lagi kepada ana. Ana ingin berubah, ana ingin bertaubat. Bantulah ana, bimbing ana kembali ke dalam jalan lurusNya. Biarlah ana kehilangan dia, karena dia bukan ditakdirkan untuk ana, tapi ana tak ingin kehilangan kalian, karena kalianlah yang menjadi takdir ana, kalianlah yang mengantarkan ana kembali kepada cintaNya.”
“Ahdir,” sapa Kang Andi, “Akh Dika memang bersalah dan telah mengakui kesalahannya. Cukupkanlah itu sebagai masa lalunya, jangan di ungkit kembali. Kita bantu Akh Dika untuk menempuh jalan lurusNya. Karena dengan itu, kita pun akan merasakan ridha dari Allah.”
“Maafkan ana, akhi.” ucap Akh Ahdir sendu.
“Ana yang harus minta maaf akh, dan do’akan ana supaya lebih istiqamah dijalanNya, tidak tergelincir seperti yang sudah pernah terjadi dan ana alami.” Kataku.
“Ikhwahfillah,” kata Kang Andi, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Jagalah persaudaraan kita karena Allah, maka Allah akan menjaga kita selamanya.”
“Iya, ustadz, ana uhibbukum fillah, aku mencintai kalian semua karena Allah, saudaraku!” ucapku parau namun dengan keyakinan yang teguh di hati ini.
“Aamiin, semoga kita semua di pertemukan kembali dalam jannahNya sebagaimana pertemuan kita pada hari ini.” Celoteh Akh Yasfin bahagia.
“Oh iya akh, ini ada sms dari kakak antum, katanya mereka sedang di polres Bandung Timur mengurus semuanya bersama yang menabrak antum. Katanya setelah itu baru akan datang ke sini.” Tutur Akh Irul memberikan informasi padaku.
“Alhamdulillah, baik ana tunggu.” Jawabku suka cita, seolah rasa luka dan perih dalam jiwa ini telah tiada. Karena keberadaan mereka semua, ikhwahfillah yang aku cintai karena Allah. Ya Rabb, semoga Engkau ridha atas ikhtiar kami.
[HD Gumilang - Cianjur]
0 comments:
Posting Komentar