Kamis, 06 Maret 2014

Aku Berbicara dengan Suara Lirih

 “Isnan berangkat sekolah dulu, Bu..!”
Kau pamit kepadaku. Menghampiriku. Mengecup punggung tanganku. Aku menatap keberangkatanmu dengan sebuah ganjalan.
“Ibu ingin karib berbincang denganmu, Nak..” bisik hatiku.
Aku menyadari kamu mulai beranjak remaja. Seragam putih abu-abu yang kini kamu kenakan menunjukkan hal itu. Aku tidak memungkirinya.
Tapi aku ini Ibumu. Yang telah melahirkanmu. Rasanya ada yang hilang darimu. Sejak kepergian bapak untuk selama-lamanya. Kamu berubah, Nak.
Menjadi pendiam.
Salahnya, akupun demikian.
***
Kulihat kamu punya teman baru. Sore itu kamu mengajaknya main ke rumah.
“Siapa namamu, Nak?” tanyaku.
“Saya Fahri, Bu..”
“Sekelas dengan Isnan?”
“Oh, tidak Bu. Kami memang satu sekolah tapi beda kelas. Saya di kelas XI IPA 2. Tetanggan dengan Isnan.” Jawabnya dengan cakap.
Aku tersenyum, “Baiklah. Sambil menunggu Isnan berganti pakaian, Ibu buatkan sirup dingin. Kamu pasti kehausan.”
Aku lalu beranjak ke dapur. Terbersit kerinduan, “Seperti itulah keinginan ibu jika berbincang denganmu, Isnan.” Harapku.
***
Ku senang kamu semakin akrab dengan Fahri. Semoga kamu bisa belajar darinya tentang cara berkomunikasi yang baik.
“Tahukah kamu, Nak? Ibu hampa di sini. Merindukan celotehanmu.”
Kunantikan perkembanganmu. Tapi kamu masih seperti itu. Masih pendiam.
Akupun menggerutu dalam hati. Mungkin aku bukan seorang Ibu yang baik. Mengapa aku terus menunggu? Bagaimana jika aku yang mengawalinya?
***
Sebentar lagi semester genap. Kamu memperlihatkan laporan belajar selama semester ganjil. Memuaskan sekali. tapi kenapa kamu muram? Aku menunggumu untuk berbicara.
Sepuluh detik, tigapuluh detik, satu menit. Kamu masih bungkam. Aku sendiri bingung harus bicara apa. Tiba-tiba kamu mencium punggung tanganku, kuharap kata itu tiba. Tapi, “Ibu, Isnan mau keluar dulu. Ke rumah Fahri.”
***
Masjid di dekat rumahku mulai aktif kembali menyelenggarakan pengajian ibu-ibu. Tentu saja aku antusias. Ini adalah solusi kegersangan hati. Aku meniatkan untuk mencari cara bagaimana berkomunikasi dengan anakku sendiri, Isnan.
Pengisinya seorang Ibu. sepertinya seumuran denganku. Yang luarbiasa adalah dia lumpuh. Langkahnya disangga oleh tongkat di lengan kirinya. Rumahnya cukup jauh dari ini,. Kudengar dia harus naik angkot untuk sampai kemari.
***
Dari 15 orang peserta pengajian ibu-ibu itu, hanya aku yang berani mengendarai sepeda motor. Maka, Ibu Endah ketua pengajian memberikan aku amanah untuk mengantarkan pulang sang ustadzah. Akhirnya kutahu namanya adalah ustadzah Hanifah.
Sejak itu, aku selalu menawarkan diri pada Ibu Ifah -begitu beliau lebih senang disapa- untuk diantarkan sampai rumah. Tapi beliau selalu menolaknya, “Cukup sampai depan saja. Biar saya naik angkot, Bu.” Ucapnya santun.
“Ibu tidak khawatir kelelahan?” tanyaku.
“In syaa Allah tidak. Saya mencoba untuk mensyukuri nikmat-Nya saja. Saya tidak ingin tenggelam dalam belas kasihan atas kelumpuhan ini. Saya ingin mencoba terus tegar, Bu. Karena masih banyak nikmat lain yang perlu saya ingat. Nikmat itu adalah bertemu dengan ibu-ibu pengajian sehingga saya bahagia. Bahkan seringkali sedemikian bahagianya ingin berjumpa, saya sampai lupa bahwa saya cacat kakinya.”
Masya Allah, terasa kerdil hatiku. Entah harus bilang apa, aku malu.
Ibu Ifah kemudian naik angkot. Aku tiba-tiba teringat Isnan. Anakku satu-satunya. Aku menyesal, hanya karena ditinggal Bapak, Isnan yang menjadi korban diamnya aku. Dan karena itu Isnanpun turut jadi pendiam. Aku lupa untuk mensyukuri ada nikmat lain yang Allah berikan.
Aku mencoba untuk berdamai dengan takdir. Memaafkan masa lalu. Mengikhlaskan kepergian suamiku, Bapaknya Isnan.
***
Baru lima menit aku menyiapkan bahan masakan untuk makan malam, saat Isnan masuk ke dapur dengan langkah yang tegropoh-gopoh. Dia bersimpuh, padaku.
Allahumma…
“Ibu, maafkan kelakuan Isnan beberapa bulan kebelakang. Isnan mengaku salah telah bersikap acuh kepada Ibu. membiarkan Ibu hanyut dalam kesedihan sepeninggalan Bapak.”
Aku mengusap-usap rambutnya, air mata ini meleleh..
“Maafkan Isnan juga yang terlalu akrab dengan Fahri. Isnan dekat dengannya, karena ingin belajar sesuatu darinya. Fahri seperti Isnan, Bu. Bapaknya sudah tidak ada. Tapi Isnan lihat, Fahri begitu ceria, seakan tidak punya beban dan kesedihan. Isnan mencari tahu, lama sekali. pelan-pelan Isnan mengerti, mengapa Fahri bisa seperti itu.”
“Apa jawabannya, Nak? Beritahu Ibu..”
“Ternyata Fahri sangat memuliakan Ibunya..”
Allahumma, hatiku semakin gerimis.
“Maafkan Isnan, Bu. Isnan berjanji akan selalu memuliakan Ibu..”
***
Hari ini adalah hari Ahad. Dan aku bersama Isnan sudah seperti sedia kala. Kami sering berbincang. Isnan tak sungkan lagi menceritakan kesehariannya di sekolah.
“Nak, hari ini ustadzah pengjian ibu-ibu di masjid dekat rumah akan bertamu. Bisa tolong belikan buah-buahan untuk hidangan?”
“Baik, Bu. Kira-kira pukul berapa datangnya?”
“Sekitar ba’da Dhuhur.”
“Oh, iya, Bu. Isnan baru ingat. Kalau begitu beli buah-buahnnya dobel ya. Karena siang nanti Fahri mau mampir juga ke sini bersama Ibunya.”
“Iya, boleh.” Jawabku tersenyum.
Isnan lalu menghampiriku, “Nanti Ibu akan terkesan, lho. Ibunya Fahri luarbiasa. Darinya telah membuka pintu kesadaran Isnan.” Terangnya padaku.
Dan, akhirnya ba’da Dhuhur..
Aku menyuruh Isnan untuk segera bersiap, karena barusan Bu Ifah kirim sms, sudah didekat rumah katanya.
“Iya, Bu. Barusan Fahri juga bilang sebentar lagi nyampe.” Sahut Isnan dari  kamarnya. Ternyata dia sudah berpakaian yang rapi.
“Wah, sepertinya keduanya akan datang bersamaan.”
Beberapa saat kami menanti hingga pintu depan rumah akhirnya ada yang mengetuk.
“Assalamu’alaikum..” suara di balik pintu.
 “Wa’alaikumsalaam, tunggu sebentar.”
Isnan mengikutiku dari belakang. Aku membuka pintu, ketika pintu terkuak aku terkejut. Rupanya Ibu Ifah datang bersama anaknya.
“Fahri.” Teriak isnan, “Ibu, kenalkan ini Ibunya Fahri.” Bilang Isnan padaku.
Sontak aku tersenyum, “Isnan, memangnya Ibu tidak tahu.inilah Ibu Ifah yang inspiratif itu.” Jelasku tak mau kalah
Aku tersenyum pada anakku ini dan mempersilakan kedua tamu mulia ini masuk ke rumah, kemudian berbicara lirih pada Isnan, “Rupanya, dunia itu sangat sempit bagi orang-orang yang senang menjalin silaturrahim.”
-tamat-

[hd: 2014]

0 comments:

Posting Komentar