Rabu, 05 Maret 2014

Sepucuk Surat Buat Ukhti dan Terbalaskan

SATU
Putri sedang asyik membaca sebuah buku di bawah teduhnya naungan pohon beringin di taman sekolahnya saat jam istirahat, ketika Echa datang menghampirinya.
“Nih... lihat surat buat kamu!” sodor Echa di muka Putri sambil cengar-cengir.

Gadis kelas 10 itu menoleh kepada Echa, ditutuplah bukunya lantas menggeser posisi duduknya supaya Echa bisa duduk di bagian yang teduh di bawah bayangan pohon beringin itu.
            “Surat? Dari siapa?” tanya Putri polos...
            “Iiiyaa... ini surat balesan dari Ka’Is yang kamu taksir itu... masa kamu lupa?!!” ujar Echa sambil ngedipin mata.
            “Owh... ya? Siniiin...” sahut Putri sumingrah.
            “Eh... buka dong! Penasaran nich... apa sich jawabannya??” ucap Echa gak sabaran. Matanya liar menatap surat itu.
            “Ogah!” elak Putri.
            “Iiich... jahat banget dech!!!” sahut Echa sebel.
“Ya nggak dong, ini kan buat aku pribadi.” kata Putri sambil tersenyum.
“Tri, kamu beneran suka sama Ka’Is? Kamu naruh hati sama dia? Kamu tau kan Dia itu ketua rohis, alim banget, jalannya nunduk mulu, dingin kalo lagi ngobrol dengan cewek. Kalopun ngobrol pasti bawaannya tentang agama terus. Nggak banget deh! Nggak takut bosen kalo kamu ntar jadian terus tiap saat diceramahin, ini salah itu salah, harus begini harus begitu, gak boleh ini gak boleh itu, harus begini dan begitu!” cerocos Echa.
Putri hanya diam, dia tak menghiraukan pembicaraan kawannya itu. Hatinya diliputi bahagia yang tak terkira, dia tatap lekat-lekat surat beramplop putih polos itu dengan penuh arti.

DUA
            Sepulang sekolah, setelah mengganti seragam putih abu-abu dengan pakaian dan jilbab rumah, Putri mulai membuka surat itu... dan..

Teruntuk Ukhti Putri
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ukhti bagaimana kabarmu? Mudah-mudahan senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Aamiin...
            To The  point  ya sebenernya Ka’Is menulis surat ini bukan semata-mata membalas surat ukhti beberapa waktu silam, melainkan karena hati Ka’Is tergugah untuk meluruskan sesuatu yang Ka’Is rasa bengkok dalam surat itu. Meski jujur KaIs akui itu adalah surat cinta pertama yang Ka’Is dapatkan.
            Ukhti, jika engkau mencintai sesuatu, cintailah karena Allah, berusahalah tuk mendapatkan keridhoanNya. Dengan cintaNya, dengan kasih sayangNya. Usahakanlah bagi ukhti, untuk dapat menarik simpati Allah saja. Janganlah ukhti berlaku berlebihan dihadapan manusia ( untuk menarik simpati mereka ) sehingga diri ukhti kepayahan olehnya. Janganlah ukhti seperti itu, walau hasilnya besar. Ukhti mendapatkan simpati dan sanjungan dari manusia, namun ukhti menjadi lupa bagaimana cara menarik simpati Allah.
            Pabila ukhti mencintai seseorang, cintailah ia tanpa melebihi cinta ukhti kepada Allah, cintailah ia tanpa harus menggadaikan cinta ukhti kepada Allah. Jikalau ia berlaku salah, ukhti harus berani menegurnya, tanpa melihat besar kecilnya kesalahan dia. Sebab itu janganlah ukhti cinta buta. Ingatlah, cinta karena Allah, dan mengharapkan keridhoanNya, serta ikhlas atas apa karena Allah, adalah lebih baik pabila ukhti mengetahui.
            Cintailah seseorang bukan dari kedudukannya di dunia, cintailah seseorang bukan karena harta yang dia miliki. Akan tetapi, cintailah seseorang karena ketaqwaannya kepada Allah. Jikalau ukhti mencintai ia karena harta ( kekayaan ), maka kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati yang senantiasa mengingat Allah. Cintailah seseorang karena ia bisa menjadi pemimpin yang membawa ukhti ke jalan yang lurus, menuju syurgaNya dan cintailah seseorang karena ia mencintai ukhti pun karena Allah.
            Andaikata ukhti menerima cintanya, ia tak akan mengucapkan sesuatu apapun kecuali seuntai kalimat ini: ‘sesungguhnya ini adalah kehendak Allah yang telah membukakan hatimu selapang-lapangnya bagi cinta yang ku bawa.’ Dan dia tidak berjanji ( dengan janji yang muluk dan melelapkan ) hanyalah ia berusaha untuk mengajak ukhti ke jalan yang diridhoi olehNya.
            Jika saja ukhti menolak cintanya, ia hanya berkata: ‘sesungguhnya aku ikhlas dengan ketetapan Allah dan ridho atas apa yang telah Allah karuniakan ( berupa kesempatan untuk mengungkapkan cintanya ) bagiku. Tidak selalu apa yang aku  harapkan menjadi nyata, namun aku bersyukur telah mengenal dirimu. Dan aku yakin Allah telah menyediakan pasangan bagiku.’ ( walau sebenarnya ketika mengucapkan kalimat ini hatinya telah remuk redam dan ia tidak tahu dimana kelak pasangannya akan hadir ). Dan dia tidak memusuhi atau mendiamkan diri jika berjumpa lagi dengan ukhti. Ia akan tetap menjalin tali silaturrahim dan senantiasa akan selalu membantu ukhti.
            Ukhti maaf, jika kata-kata Ka’Is menyakiti hati ukhti atas apa yang telah ukhti yakini selama ini. Tapi Ka’Is gak bisa berkata selain harus mengungkapkan yang sebenarnya. Karena Ka’Is tidak mau membuat ukhti salah paham atas sikap Ka’Is kepada ukhti selama ini pun terhadap surat Ka’Is ini. Maafkan Ka’Is...
            Bila memang Allah menakdirkan, berdo’alah kepada Allah demi kebaikan dan ketulusan atas cinta yang engkau miliki itu. Cukup kepada Allah lah engkau akui memiliki cinta dan jangan beritahukan cinta itu kepada manusia, cukup cintai dalam diam. Insya Allah, segalanya akan sesuai dengan kehendak-Nya.
            Wassalamu’alaikum Wr. Wb                                     
Ismiyanto
Butir-butir air mata mengalir menganak sungai tak tertahankan. Isak tangis mulai berpadu melantunkan sendu, sebuah desah pilu... Jilbab itu semakin basah oleh air mata yang jatuh tak terbandung, pun bercucuran membasahi surat tak tercegah. Gadis itu hanya diam terpaku. Dalam tangis ia sadari kekhilafannya.

TIGA
Enam tahun kemudian…
“Mbak..! Mbak Putri.” sebuah sapaan ramah meluncur dari seorang perempuan kepada Putri.
“Oh, Mbak Nisa, iya maaf mbak tadi nggak keperhatiin.” balas Putri tersenyum kemudian saling berpelukan.
“Iya, nggak apa-apa, Nisa cuma ingin ngasih tau Mbak, nanti sore rombongan relawan bencana alam di Garut Selatan akan berangkat. Mbak ikut kan?” tanya perempuan yang dipanggil Nisa itu.
“Siap, Insya Allah. Eh, iya, untuk logistik tadi saya dapat bantuan lagi dari teman-teman jurusan untuk para korban bencana.”
“Alhamdulillah, ok Mbak. Maaf ya, Nisa pamit dulu, masih ada kesibukan. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam warahmatullah.” Jawab Putri.
Waktu, ternyata dapat mengubah seseorang. Siapa yang akan menyangka bila seiring berjalannya waktu, Putri dapat berubah menjadi seperti sekarang. Menjadi seorang muslimah yang selalu belajar untuk menjadi baik. Selalu berusaha untuk membagikan kebaikan dan berbagi kebahagiaan bahwa dekat dengan Allah itu nyaman adanya.
Rasanya, hidup ini memang begitu menakjubkan dan penuh dengan segala sesuatu yang tak dapat ditebak. Dengan penuh rasa syukur Putri memanjatkannya kepada Allah atas limpahan kasih sayang, perhatian dan tentu saja cintaNya sehingga dibimbing menuju jalan yang lurus dan penuh amal kebaikan. Menjaga hidayah yang telah Allah berikan.
Kini, Putri sudah tingkat akhir di Jurusan Jurnalistik Fakultas Komunikasi sebuah Kampus Islam di Cibiru. Dia aktif dalam kegiatan dakwah di kampusnya lewat Lembaga Dakwah Kampus dan ikut terjun dalam politik kampus meskipun tidak secara langsung. Selain itu, dia pun menyenangi dunia jurnalistik sebagaimana jurusan yang diambilnya. Sehari-hari dia membawa kamera digital untuk memotret hiruk pikuk denyut nadi kehidupan di sekitarnya. Cita-citanya yang ingin menjadi bagian dari jurnalis peradaban membuatnya selalu bersemangat untuk mencari informasi yang bisa dijadikan berita menjadikan dia aktif sebagai jurnalis di sebuah radio Islam di daerah Ledeng. Selain itu, dia meminati dunia sastra seperti menulis puisi dan cerpen. Beberapa puisinya dipublikasikan dalam bentuk antologi bersama rekan-rekannya di komunitas sastra. Sementara cerpen-cerpennya telah di muat jurnal-jurnal sastra.

EMPAT
Sore itu, Putri sedang berada di sebuah rumah makan dekat kampus bersama Mbak Ira, seniornya di kampus yang sudah wisuda sekaligus guru ngajinya. Suasananya sepi, hanya meja yang mereka tempati yang terisi, sementara gerimis mengguyur kota Bandung sejak siang tadi.
“Dik, ada sebuah amanat yang harus mbak sampaikan.” Kalimat Mbak Ira membuka percakapan.
“Apa itu, mbak?”
Mbak Ira menarik nafas cukup dalam  lalu berkata,
“Tiga hari yang lalu, suami mbak, Mas Irfan minta tolong katanya ada temannya yang ingin menikah. Temannya itu bilang kepada mas Irfan untuk bantuin mengkhitbahkan seorang akhwat untuknya. Mas Irfan tahu nama akhwat tersebut dan tahu bahwa akhwat itu dekat dengan mbak. Maka Mas Irfan minta mbak untuk bantu menyampaikan perihal ini kepada akhwat tersebut.”
Mbak Ira berhenti sejenak untuk meminum orange juice nya kemudian meneruskan..
“Dik, amanat yang mbak pegang itu adalah, teman mas Irfan tersebut ingin mengkhitbahmu, Putri Praningtias!” pungkas Mbak Ira.
Putri bagaikan tersengat aliran listrik, dia sangat terkejut mendengar pernyataan dari Mbak Ira yang tak diduga sebelumnya itu. Pandangannya nanar, ada air mata yang menetes. Wajahnya tertunduk malu, hatinya berkecamuk, jiwanya bergejolak, pikirannya buyar entah kemana.
“Mbak..” ucapan Putri terdengar lirih sambil terisak dalam tangisnya, “Salahkah, bila Putri memendam harapan pada seseorang?” kalimatnya bergetar.
Mbak Ira hanya tersenyum.
Kemudian Putri menceritakan sesuatu yang telah enam tahun dia pendam dalam hati. Sebuah cerita ketika SMA. Sebuah pengharapan cinta kepada seseorang. Wajah teduh yang selalu ada dalam benaknya. Kehalusan budi pekerti orang itu yang membekas dalam hatinya. Terekam dalam ingatannya. Kenekatanya untuk mengirim sebuah surat cinta, kebahagiaannya saat suratnya berbalas dari orang tersebut. Hatinya yang bergetar saat membaca isi surat tersebut, kesedihan karena cintanya ditolak, nasehat tentang cinta dari orang itu yang menghujam dalam qalbunya. Isak tangis saat dia menyadari segala khilafnya. Niatan untuk mencintai dalam diam kepada orang tersebut yang akhirnya dia pendam dalam hati selama ini. Dan azzam untuk mengubah alur hidupnya menjadi seorang muslimah yang baik sejak saat itu.
Mbak Ira terharu mendengarkan cerita tersebut, “Dik, engkau sungguh mencintainya?”
Putri hanya mengangguk lemah.
“Engkau mengetahui dimana sekarang dia berada?”
Putri menggelengkan kepalanya.
“Mbak boleh tau, siapa nama orang itu?”
“Namanya.. Is… Ismiyanto…”
“Hah, Ismiyanto?!”
“Iya, kenapa Mbak?”
“Taukah, bahwa Ismiyanto itu… adalah nama orang yang ingin mengkhitbahmu!!”
“Be.. benarkah, Mbak??” tutur Putri terbata, “ Ismiyanto yang dulu SMA sama dengan saya?”
Mbak Ira mengangguk.
“Yang dulu aktif di rohisnya?”
Kembali mbak Ira mengangguk, kini butir air mata mulai menetes dari matanya.
“Ya Allah… Allahuakbar… Allahuakbar… Allah… Allahuakbar…” takbir Putri terdengar lirih, Lantas dia beranjak dari kursinya dan memeluk Mbak Ira, menangis sedu sedan dalam dekapan hangat Mbak Ira.
“Subhanallah, inilah jalan yang Allah peruntukkan bagimu dik. Jalan cinta yang agung yang hanya diberikan kepada hambaNya yang ikhlas dan ridho terhadap ketetapanNya.”
Sejurus kemudian Mbak Ira menunjukkan selembar foto Ismiyanto, untuk memastikan bahwa dia tidak keliru. Secepat kilat Putri mengangguk, bahwa memang itu adalah Ismiyanto, yang selama enam tahun ini dia cintai dalam diam dan tak seorang manusia pun mengetahuinya. Seketika itu pula Putri teringat kalimat Ismiyanto dalam suratnya.
Cukup kepada Allah lah engkau akui memiliki cinta dan jangan beritahukan cinta itu kepada manusia, cukup cintai dalam diam. Insya Allah, segalanya akan sesuai dengan kehendak-Nya.

LIMA
Minggu sore itu, tiga hari setelah peristiwa peminangan Ismiyanto melalui Mbak Ira kepadanya, seluruh keluarga Putri sedang berkumpul. Memang cukup sulit bagi Putri mengumpulkan keluarganya, padahal keinginan menyampaikan berita gembira itu sudah membuncah sejak detik dimana dia dikhitbah melalui Mbak Ira. Namun kesibukan ayahnya yang seorang Polisi di Kota Bandung dan memiliki jabatan tinggi pada institusinya, aktivitas Ibu nya yang mengajar sebagai dosen di berbagai kampus serta keasyikan adiknya dengan dunianya sendiri menyulitkan dia untuk berinteraksi dengan mereka semua. Sementara kakaknya sendiri kini sedang bekerja sebagai staf ahli multimedia di luar pulau Jawa.
Terus terang, Putri seringkali merasa hampa, sendiri dirumahnya. Karena itulah dia selalu mencari kesibukan dan berbagai aktivitas. Selain berkecimpung di dunia jurnalistik dan komunitas sastra. Dia pun aktif memberikan privat kepada anak-anak SMP di sebuah lembaga privat, kemudian ikut les Biola di dekat rumahnya di bilangan Jatinangor. Namun, Putri tetap bersyukur, karena dengan kerumitan kondisi keluarganya ini, dia masih menyalurkan segalanya dalam wadah positif. Seringkali dia sedih saat melihat realitas anak-anak broken home yang salah jalan, pergaulan bebas, dekat dengan narkoba dan berbagai macam kenakalan remaja lainnya.
Dan Putri pun ingin merangkul mereka, membawa mereka supaya dekat kepada Allah, memberitahukan pada mereka yang salah jalan itu bahwa dekat dengan Allah itu ternyata indah, nyaman dan penuh kenikmatan. Berbagi kebahagiaan dan berbagi hidayah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah seru sekalian alam karena Putri menyadari, tanpa bantuanNya, mungkin dia tidak akan seperti ini sekarang.
Maka, sore itu ditemani Mbak Ira yang memang sengaja datang untuk menemaninya, dia mengutarakan yang beberapa hari ini tertunda.
Semuanya berjalan lancar, Mbak Ira membantu menyampaikan maksud khitbah dari seorang bernama Ismiyanto kepada Putri. Kemudian menceritakan kepribadian Ismiyanto, bahwa dia shalih dan dari keluarga yang taat beragama insya Allah, sudah lulus SI Jurusan Sejarah sebuah universitas di Jogjakarta dengan predikat memuaskan, kini bekerja sebagai peneliti di Museum Sribaduga Bandung sekaligus dia menjadi salah satu founder yayasan sosial yang membantu kaum dhuafa dan yatim piatu. Ternyata respon Bapak dan Ibu Putri sangat baik. Terlebih setelah mereka tau bahwa Putri sudah mengenal Ismiyanto sejak SMA namun rasa cinta Putri itu dipendam dalam hati selama enam tahun hingga Putri sendiri tidak mengetahui dimanakah keberadaan Ismiyanto selama ini sampai pada akhirnya Allah kembali mempertemukan mereka melalui Mbak Ira saat ini.
 “Boleh bapak lihat foto dia, nak?” pinta Bapak Putri. Kemudian Mbak Ira menyerahkan selembar Foto Ismiyanto kepada beliau.
Wajah Pak Iskandar mendadak berkerut, pucat, dan keanehan lainnya.
“TIDAK!” suara Pak Iskandar menggelegar secara mengejutkan.
Seketika suasana ruangan itu hening, sunyi senyap. Semuanya terkejut.
“Tidak, tidak apa pak?” sahut Putri penuh tanya, sementara Ibu dan Mbak Ira terheran-heran.
“TIDAK! Bapak tidak akan menikahkan kamu dengan anak ini!”
“kenapa, pak?” Tanya Putri parau, serasa harapan dalam hatinya dikikis dengan silet, sakit sekali.
“Lihat, penampilan wajahnya seperti teroris! Jidat hitam. Ada janggut tipisnya, wajahnya yang penuh sorot yang bapak tidak sukai.”
“Tapi Pak..” sergah Mbak Ira, “Dia bukan teroris, penampilannya sangat islami seperti itu karena dia aktif di Lembaga Dakwah Kampus di Jogjakarta.”
“Pokoknya bapak tidak suka. Kamu tau, bapak polisi. Bapak tau sifat seseorang dilhat dari wajahnya. Pokoknya tidak, bapak tidak setuju Putri menikah dengan dia!”
Keputusan final Bapak bagaikan palu godam yang menghujam hati Putri dengan sangat telak. Harapan yang sempat dia renda dengan seutuh hati harus hancur seperti itu saja.
Semua terdiam, tak ada yang berani membantah kalimat pamungkas Pak Iskandar itu.

ENAM
Genap seminggu sejak peristiwa penolakan bapak atas khitbah Ismiyanto, hati Putri masih belum pulih benar atas kenyataan yang harus dihadapinya. Rasa cintanya begitu dalam kepada Ismiyanto. Dan ada rasa sakit ketika Ismiyanto dituduh oleh bapaknya sendiri memiliki wajah teroris hanya karena dia memelihara janggut. Apakah benar seperti itu? Dan apakah memang seperti itu semua polisi memandang setiap lelaki yang berjanggut? Lalu jika demikian, maka setiap orang yang berjanggut baik yang ada di masjid, yang jadi supir angkot, yang jadi cleaning service, yang jaga warung,  yang selama ini berceramah dimana-mana, semua itu berarti teroris? Ah, jika memang demikian maka alangkah sempitnya pemikiran bapaknya itu, desah Putri dalam hatinya.
Astagfirullah Aku tidak boleh berburuk sangka. Bagaimanapun juga, beliau bapakku, yang membesarkanku. Ya Allah, ampuni aku.”
Dan pada akhirnya dia menyadari bahwa cinta kepada Allah harus lebih utama dan lebih dalam.
Ukhti, jika engkau mencintai sesuatu, cintailah karena Allah, berusahalah tuk mendapatkan keridhoanNya. Dengan cintaNya, dengan kasih sayangNya. Usahakanlah bagi ukhti, untuk dapat menarik simpati Allah saja. Janganlah ukhti berlaku berlebihan dihadapan manusia ( untuk menarik simpati mereka ) sehingga diri ukhti kepayahan olehnya. Janganlah ukhti seperti itu, walau hasilnya besar. Ukhti mendapatkan simpati dan sanjungan dari manusia, namun ukhti menjadi lupa bagaimana cara menarik simpati Allah.
Dia kembali teringat nasehat Ismiyanto dalam surat itu enam tahun yang lalu. Putri sadar, Ismiyanto benar, seharusnya cinta kepada Allah harus di utamakan. Jangan berpikir untuk mendapatkan simpati dari manusia sementara dia akhirnya lupa bagaimana cara menarik simpati Allah. Maka dengan segenap ridho atas kejadian itu, Putri memilih untuk kembali bersemangat di jalanNya. Yakin bahwa jodohnya sudah ada dalam lauh mahfudz. Tak ada masalah, semuanya Allah yang membuat skenario kehidupannya.
“Bapak akan carikan Putri jodoh, kalau Putri memang sudah ingin menikah. Tapi bukan dengan lelaki yang kemarin itu.” Bilang pak Iskandar.
Putri membisu di kamarnya. Pak Iskandar mengelus dengan lembut rambut anaknya itu. Sebetulnya Putri tau benar betapa besar rasa sayang orangtua kepadanya. Mereka menginginkan anaknya ini menikah dengan lelaki yang betul-betul bisa menjaganya.

TUJUH
Smartphone Putri berdering..
 “Telepon dari Bapak? Heran tak biasanya bapak menelepon siang hari seperti ini. Assalamu’alaikum, ada apa pak?” sapa Putri menjawab telepon.
“Wa’alaikum salam. Kamu dimana, Nak?”
“Di kampus pak. Ada apa?”
“Kamu ke Rumah Sakit Al Islam sekarang! Segera.”
“Lho, ada apa? Putri ke sana sekarang.”
Dengan penuh tanda Tanya, Putri menuju parkiran kampus, menstarter Mio Putihnya lalu berangkat menuju Al Islam.

TUJUH
Lantai dua Rumah Sakit Al Islam saat itu Nampak tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang lalu lalang menyusuri koridornya. Di sebuah sudut tempat duduk, Pak Iskandar sedang gelisah, bibirnya tak henti berdo’a. tak lama kemudian, Putri datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa, pak?” kata Putri mengatur nafasnya yang terengah.
Pak Iskandar langsung memeluk anak perempuannya ini dengan penuh haru, baju dinasnya sudah basah oleh keringat dari tadi.
“Maaf..  maafkan bapak, nak. Maafkan bapak..” sebuah kalimat pelan terucap dari bapaknya.
“Kenapa bapak minta maaf?”
“Duduk.. duduklah nak. Akan bapak ceritakan.”
Lalu keduanya duduk, angin berhembus pelan membelai jilbab hijau panjang milik Putri.
“Beberapa hari lalu bapak ikut shalat jum’at di Masjid Raya Bandung. Isi khutbahnya menarik sekali. Khatib menceritakan mengenai esensi kehidupan kita di dunia ini bahwa sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Perasaan bapak seperti diaduk-aduk, penuh penyesalan bahwa selama ini hidup bapak tidak baik. Bapak berpikir, bagaimana jika suatu hari nanti bapak meninggal namun tidak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi pengadilan Allah di hari kiamat kelak. Sungguh penjelasan khatib muda itu begitu menyentuh hati bapak. Betapa kehidupan manusia di dunia ini sangat singkat sementara amanah yang dibebankan itu sangat banyak dan rasanya tidak akan selesai dengan rentang waktu usia kita yang sangat terbatas ini. Dan kita dianjurkan untuk mengoptimalkan sisa waktu yang dimiliki ini untuk menabung amal kebaikan, bermanfaat bagi banyak orang karena semua itu adalahh anjuran dari Allah. Bapak perhatikan wajah khatib muda itu, rasanya bapak kenal tapi tidak tau dimana. Maka ya sudah, bapak tidak ambil pusing, mungkin kenal dijalan.
Lalu, pagi tadi bapak bersama beberapa petugas kepolisian lain melakukan penggerebekan terhadap Bandar judi di sekitar Peti Kemas Gedebage. Bapak ikut melakukan pengejaran terhadap gembong Bandar judi itu. Menembakan tembakan peringatan ke udara. Fokus bapak adalah si gembongnya itu. Tapi dia tidak mau menyerahkan diri, maka bapak terus mengejarnya. Hingga tiba di jalan raya Sukarno-Hatta bapak tidak berani melakukan tembakan karena banyak warga. Ketika dia nekat menyebrang jalan padahal banyak mobil melintas cepat, bapak ikut menyebrang, tapi bapak tersandung lubang ditengah jalan. Di saat seperti itu, ada sebuah sedan yang ngebut ke arah bapak, terdengar suara rem keras namun mobil masih melaju kencang. Waktu itu bapak pasrah, tapi tiba-tiba ada yang mendorong bapak ke pinggir jalan. Lalu terdengar bunyi tabrakan. Bapak selamat, tapi orang yang menolong bapak itu tertabrak dan terlempar beberapa meter. Bapak buru-buru melihat penolong bapak itu sementara petugas lain langsung menghampiri dan membawanya ke Al Islam. Saat bapak saksikan, ternyata wajahnya sama dengan yang menjadi khatib Jum’at waktu itu. Dan… “
Bapak menarik nafas sejenak, tak ingin air mata yang mau menetes dari wajahnya itu diketahui anaknya, namun tetap saja, ada butiran yang mengalir pada akhirnya.
“Dan.. setelah bapak ingat kembali, wajah khatib muda penyelamat bapak itu mirip sekali dengan wajah lelaki yang tempo hari mengkhitbahmu, Ismiyanto…” lalu tangis Pak Iskadar tak tertahankan lagi, dia memeluk Putri erat.
Sementara Putri terkejut bukan alang kepalang, rasanya seluruh persendian tubuhnya copot. Lemas. Sekuat tenaga dia menahan untuk tidak jatuh.
 “Maafkan, maafkan bapak nak. Waktu itu ternyata bapak salah menilai. Ternyata Ismiyanto berhati malaikat. Maafkan bapak nak, telah menilai Ismiyanto dengan perkataan buruk pada waktu itu. Ismiyanto bukanlah wajah seorang teroris tetapi merupakan wajah seorang muslim yang taat, muslim yang menebarkan banyak kebaikan dan memberikan keteduhan bagi setiap orang.”
Putri tak kuasa menahan tangis, rasa syukur kepada Allah.
“Dan, bapak berjanji, jika Ismiyanto selamat, bapak akan menikahkan kamu dengan dia, nak!”
Putri hanya sanggup merintih penuh rasa syukur dan tangis tak terbendung, dia memeluk bapaknya dengan penuh keharuan.
Betapa penantian panjangnya ini menuju titik puncak. Betapa kesabarannya selama ini mendapatkan ridho dari Allah. Betapa besar kasih sayang Allah kepadanya, menjaga cintanya dari hal yang dilarang, memberikan cahaya kedamaian kepada bapaknya. Menyediakan sebuah jalan yang indah untuk merangkai bait-bait cintanya.
Tak lama kemudian seorang dokter yang merawat Ismiyanto keluar dari ruang perawatan menghampiri mereka berdua.
“Dok, bagaimana keadaan Ka’Is?” Tanya Putri penuh harap. Dia tersipu malu, kenapa dia duluan yang bertanya bukan bapaknya dulu. Dan dia kembali teringat, sapaan Ka’Is adalah sapaanya sewaktu SMA, enam tahun lampau.
“Alhamdulillah, Allah mencintai pemuda ini. Lukanya tidak parah, hanya retak bagian pinggulnya, Karena benturan dengan bibir mobil. Namun tidak apa-apa, insya Allah bisa sembuh. Tekanan darahnya juga normal. Bersyukurlah, Allah menyelamatkan jiwa pemuda ini, pasti banyak kebaikan yang telah dilakukannya sehingga Allah senantiasa menjaganya dari marabahaya. Oh iya, jangan lupa segera hubungi keluarganya supaya beliau semakin dikuatkan. Maaf saya pamit dulu, ada pasien lain yang harus saya rawat.”
Dalam hati keduanya bersyukur kepada Allah, bersyukur Allah telah menyelamatkan Ismiyanto.

DELAPAN
Hanya tiga hari Ismiyanto dirawat di Al Islam, setelah itu keluarganya membawa dia pulang ke kampung halamannya di Cianjur untuk dirawat oleh pamannya yang memiliki keahlian dalam mengobati tulang secara alternatif. Ya, meskipun bagian pinggulnya saja yang retak namun itu sungguh mengganggu aktivitasnya. Dia belum bisa berdiri lama-lama. Pamannya ini sendiri dulu pernah mengobatinya ketika tangannya patah. Waktu itu, dokter bilang untuk menyambungkan kembali tangan Ismiyanto butuh waktu sekitar satu tahun, namun dengan keahlian yang dimiliki sang paman, dalam tempo dua bulan akhirnya tangan Ismiyanto sudah bisa menyambung lagi.
Dan demi kesembuhannya itu pula, dia diijinkan mengambil cuti dari Museum Sribaduga sampai sembuh. Ismiyanto berharap dalam waktu dekat bisa sembuh, minimal kondisinya bisa lebih baik untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.

SEMBILAN
Enam tahun mengembara mencari ilmu dan menjauhi Putri agar terjaga dari fitnah. Menghilang dari radar kehidupan Putri supaya dia bisa tenang menemukan dan mengokohkan cintanya. Karena dia sendirilah yang mengatakan untuk lebih mencintai Allah terlebih dahulu daripada mencintai makhluk, maka dia berupaya untuk mencintai Allah, kemudian ridho atas ketentuan Allah.
Jaringan luas yang dia miliki, ketika dia merasa sudah mantap untuk mengkhitbah Putri, melalui link itulah dia menemukan dimanakah Putri sekarang berada.
Seperti inilah jalan yang Allah tetapkan baginya, maka selesai shalat dhuha sebelum berangkat ke tempat akad nikah di Bandung, dia berdo’a..
”Ya Allah ya Rahman, betapa agung jalan yang Engkau siapkan bagiku. Betapa tak terhingganya bahagia dalam hati ini. Betapa rasa syukur senantiasa menggetarkan jiwa ini. Ya Allah, pada hari ini, Engkau telah ridhoi aku untuk mewujudkan harapan yang selama enam tahun ini hamba pendam. Rasa syukurku tiada terkira kepadaMu ya Allah. Sungguh berapa juta kalipun ku berucap, kebahagiaanlah yang akan senantiasa terlontar. Betapa indah, betapa indah jalan cintaMu ya Rabbi.”
Lalu sujud syukur yang menggetarkan sanubarinya.
Perjalanan menuju Bandung betapa indahnya, berbahagianya, menggetarkan hatinya. Senyuman tak lepas darinya. Indah karena hari ini akan terwujudlah cita-citanya. Maka dua jam waktu yang ditempuh tak terasa sudah tiba di tempat tujuan.
Setelah rangkaian acara seremonial, maka tibalah acara inti, akad nikah.
Ismiyanto dikelilingi oleh wali nikah, pencatat dari KUA dan kerabat keluarga, jajaran kepolisian serta teman-teman dari kedua mempelai yang ikut memenuhi Masjid Kampus itu. Sementara di jarak yang tidak terlalu jauh, Putri Praningtias berdegup kencang menunggu pengesahannya sebagai istri dari Ismiyanto. Dia pun berterima kasih kepada teman-teman di dakwah kampus yang telah membantu melancarkan rangkaian acara walimahan ini. Ada keringat yang menetes, karena ketegangan yang membahagiakan tentunya.
“Saudara Ismiyanto bin Hasan Sayuti apakah engkau bersedia menerima Putri Praningtias binti Iskandar Zulkarnain sebagai istrimu?”
“Ya, saya bersedia!” Jawab Ismiyanto mantap.
“Baik, saya nikahkan anak kandung saya, Putri Praningtias binti Iskandar Zulkarnain dengan mas kawin emas seberat duapuluh gram dan mushaf al Qur’an serta bacaan surah Ar Rahmaan ayat satu sampai enambelas dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Putri Praningtias binti Iskandar Zulkarnain dengan Mas kawin emas seberat duapuluh gram dan mushaf al Qur’an serta bacaan surah Ar Rahmaan ayat satu sampai enambelas dibayar tunai.” Jawab Ismiyanto tegas. Kemudian dia membacakan surah Ar Rahmaan.
’audzubillahi minasyaithannir rajiim. Bismillahir rahmaanir rahiim. Ar rahmaan, allamal qur’aan, khalaqal insaan, allamahul bayaan, assyamsu wal qamaru bi husbaan, wan najmu was sajaru ya judaan, wassama’a rafa’aha wa waa dha’al miizan, alla tat khaufil miizaan, wa aqimul wadzna bil qisti walaa tuhsirul miizan, wal ardho wadha’aha li aanaam, fiiha faa qihataw wanahlu dzaatul akmam, wal habbu dzul asyfi warraihaan, fabiayyi alaa irobbikuma tukadzdzibaan, khalaqal insaana min sholshoolin kal fakhaar, wa khalaqal jaanna mimmaa rizimmin naar, fabiayyi alaa irobbikuma tukadzdzibaan.
Tuhan Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al Qur’an, Dia menciptakan manusia, mengajarkannya pandai berbicara, Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNYA, dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan, supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu, dan Allah telah meratakan bumi untuk makhlukNYA, di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Dan seluruh penjuru masjid pun bergemuruh hanyut dalam lantunan bacaan Ismiyanto. Hanyut dalam renungan, betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, betapa kita diingatkan untuk tidak pernah melupakan apa yang telah Allah karuniakan.
Maka setelah semuanya sah, seluruh hadirin memanjatkan do’a kepada dua mempelai ini, yang baru saja mengikatkan ikrar suci, sehidup semati, dalam naungan cinta ilahi, menuju kebahagiaan yang abadi, cinta Allah yang hakiki.
Barakallahu laka wabaraka alaika, jama’a bainakuma fi khair, insya Allah..

EPILOG
Pagi hari yang cerah, ada sepucuk surat tergeletak di meja belajar Putri. Perlahan dia membukanya. Benaknya sudah bisa menebak, itu dari Ka’Is tercinta yang baru saja keluar rumah untuk berolahraga.
Teruntuk Istriku tercinta
Putri Praningtias
Istriku, aku ingin berterusterang kepadamu betapa aku mencintaimu. Mengharapkan ridha Allah dengan pernikahan kita ini. Tak ada alasan lain untuk menikahimu selain ingin meneladani sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa kerinduan itu sangat terpancar jelas tatkala membaca jejak-jejak peri kehidupan sang Baginda dalam meniti rumah tangga. Menyapamu dengan sapaan terindah. Mengecup keningmu penuh rasa sayang. Menggenggam erat tanganmu saat kita berjalan. Makan bersama. Minum bersama. Aku akan berusaha selalu baik kepadamu, sebagaimana sabda Rasulullah, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka. Dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.”
Aku merasakan apa yang engkau rasakan. Aku telah memikirkanmu sebelum engkau sempat memikirkanku. Aku ingin mengekspresikan rasa cintaku kepadamu dengan sederhana dan bersahaja. Memperlakukan dirimu dengan lembut dan penuh perhatian karena engkau begitu berharga bagiku, wahai bidadari syurgaku.
Di sini, kita akan membangun sebuah keluarga yang membuahkan ketenteraman dan kedamaian hati. Penuh dengan cinta yang meluap-luap menuju muara cinta-Nya. Hingga pada akhirnya, buah dari itu semua adalah melahirkan generasi-generasi terbaik yang menjadi penyejuk jiwa kita.
                                                                                    Suamimu tercinta, Ismiyanto
NB: Istriku, setelah membaca surat ini, bergegaslah ke taman depan rumah, ada kejutan dariku untukmu. Lihatlah keluar jendela kamar kita ini.
Putri memandang jendela dengan wajah merah merona, di sana ada suaminya menanti. Ia pun bergegas membenahi jilbabnya kemudian keluar menghampiri lelaki sederhana yang dicintai sepenuh hati itu.

-tamat-

0 comments:

Posting Komentar