SATU
Putri sedang
asyik membaca sebuah buku di bawah teduhnya naungan pohon beringin di taman
sekolahnya saat jam istirahat, ketika Echa datang menghampirinya.
“Nih... lihat surat buat
kamu!” sodor Echa di muka Putri sambil cengar-cengir.
Gadis
kelas 10 itu menoleh kepada Echa, ditutuplah bukunya lantas menggeser posisi
duduknya supaya Echa bisa duduk di bagian yang teduh di bawah bayangan pohon
beringin itu.
“Surat?
Dari siapa?” tanya Putri polos...
“Iiiyaa...
ini surat balesan dari Ka’Is yang kamu taksir itu... masa kamu lupa?!!” ujar Echa sambil
ngedipin mata.
“Owh...
ya? Siniiin...” sahut Putri sumingrah.
“Eh...
buka dong! Penasaran nich... apa sich jawabannya??” ucap Echa gak sabaran.
Matanya liar menatap surat itu.
“Ogah!”
elak Putri.
“Iiich...
jahat banget dech!!!” sahut Echa sebel.
“Ya
nggak dong, ini kan buat aku pribadi.” kata Putri sambil tersenyum.
“Tri,
kamu beneran suka sama Ka’Is? Kamu naruh hati sama dia? Kamu tau kan Dia itu
ketua rohis, alim banget, jalannya nunduk mulu, dingin kalo lagi ngobrol dengan
cewek. Kalopun ngobrol pasti bawaannya tentang agama terus. Nggak banget deh!
Nggak takut bosen kalo kamu ntar jadian terus tiap saat diceramahin, ini salah
itu salah, harus begini harus begitu, gak boleh ini gak boleh itu, harus begini
dan begitu!” cerocos Echa.
Putri
hanya diam, dia tak menghiraukan pembicaraan kawannya itu. Hatinya diliputi
bahagia yang tak terkira, dia tatap lekat-lekat surat beramplop putih polos itu
dengan penuh arti.
DUA
Sepulang
sekolah, setelah mengganti seragam putih abu-abu dengan pakaian dan jilbab rumah,
Putri mulai
membuka surat itu... dan..
Teruntuk Ukhti Putri
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ukhti
bagaimana kabarmu? Mudah-mudahan senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Aamiin...
To
The point ya sebenernya Ka’Is menulis surat ini bukan
semata-mata membalas surat ukhti beberapa waktu silam, melainkan karena hati
Ka’Is tergugah untuk meluruskan sesuatu yang Ka’Is rasa bengkok dalam surat
itu. Meski jujur Ka’Is
akui itu adalah surat cinta pertama yang Ka’Is dapatkan.
Ukhti, jika engkau mencintai sesuatu, cintailah karena
Allah, berusahalah tuk mendapatkan keridhoanNya. Dengan cintaNya, dengan kasih sayangNya. Usahakanlah bagi ukhti,
untuk dapat menarik simpati Allah saja. Janganlah ukhti berlaku berlebihan
dihadapan manusia ( untuk menarik simpati mereka ) sehingga diri ukhti
kepayahan olehnya. Janganlah ukhti seperti itu, walau hasilnya besar. Ukhti
mendapatkan simpati dan sanjungan dari manusia, namun ukhti menjadi lupa
bagaimana cara menarik simpati Allah.
Pabila ukhti mencintai seseorang, cintailah ia tanpa
melebihi cinta ukhti kepada Allah, cintailah ia tanpa harus menggadaikan cinta
ukhti kepada Allah. Jikalau ia berlaku salah, ukhti harus berani menegurnya,
tanpa melihat besar kecilnya kesalahan dia. Sebab itu janganlah ukhti cinta
buta. Ingatlah, cinta karena Allah, dan mengharapkan keridhoanNya, serta ikhlas
atas apa karena Allah, adalah lebih baik pabila ukhti mengetahui.
Cintailah seseorang bukan dari kedudukannya di dunia,
cintailah seseorang bukan karena harta yang dia miliki. Akan tetapi, cintailah
seseorang karena ketaqwaannya kepada Allah. Jikalau ukhti mencintai ia karena
harta ( kekayaan ), maka kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati yang
senantiasa mengingat Allah. Cintailah seseorang karena ia bisa menjadi pemimpin
yang membawa ukhti ke jalan yang lurus, menuju syurgaNya dan cintailah
seseorang karena ia mencintai ukhti pun karena Allah.
Andaikata ukhti menerima cintanya, ia tak akan
mengucapkan sesuatu apapun kecuali seuntai kalimat ini: ‘sesungguhnya ini
adalah kehendak Allah yang telah membukakan hatimu selapang-lapangnya bagi
cinta yang ku bawa.’ Dan dia tidak berjanji ( dengan janji yang muluk dan
melelapkan ) hanyalah ia berusaha untuk mengajak ukhti ke jalan yang diridhoi
olehNya.
Jika saja ukhti menolak cintanya, ia hanya berkata:
‘sesungguhnya aku ikhlas dengan ketetapan Allah dan ridho atas apa yang telah
Allah karuniakan ( berupa kesempatan untuk mengungkapkan cintanya ) bagiku.
Tidak selalu apa yang aku harapkan
menjadi nyata, namun aku bersyukur telah mengenal dirimu. Dan aku yakin Allah
telah menyediakan pasangan bagiku.’ ( walau sebenarnya ketika mengucapkan
kalimat ini hatinya telah remuk redam dan ia tidak tahu dimana kelak
pasangannya akan hadir ). Dan dia tidak memusuhi atau mendiamkan diri jika
berjumpa lagi dengan ukhti. Ia akan tetap menjalin tali silaturrahim dan
senantiasa akan selalu membantu ukhti.
Ukhti maaf,
jika kata-kata Ka’Is menyakiti hati ukhti atas apa yang telah ukhti yakini
selama ini. Tapi Ka’Is gak bisa berkata selain harus mengungkapkan yang
sebenarnya. Karena Ka’Is tidak mau membuat ukhti salah paham atas sikap Ka’Is kepada
ukhti selama ini pun terhadap surat Ka’Is ini. Maafkan Ka’Is...
Bila memang Allah menakdirkan, berdo’alah kepada Allah
demi kebaikan dan ketulusan atas cinta yang engkau miliki itu. Cukup kepada
Allah lah engkau akui memiliki cinta dan jangan beritahukan cinta itu kepada
manusia, cukup cintai dalam diam. Insya Allah, segalanya akan sesuai dengan
kehendak-Nya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Ismiyanto
Butir-butir air
mata mengalir menganak sungai tak tertahankan. Isak tangis mulai berpadu
melantunkan sendu, sebuah desah pilu... Jilbab itu semakin basah oleh air mata
yang jatuh tak terbandung, pun bercucuran membasahi surat tak tercegah. Gadis
itu hanya diam terpaku. Dalam tangis ia sadari kekhilafannya.
TIGA
Enam
tahun kemudian…
“Mbak..!
Mbak Putri.” sebuah sapaan ramah meluncur dari seorang perempuan kepada Putri.
“Oh,
Mbak Nisa, iya maaf mbak tadi nggak keperhatiin.” balas Putri tersenyum kemudian
saling berpelukan.
“Iya,
nggak apa-apa, Nisa cuma ingin ngasih tau Mbak, nanti sore rombongan relawan
bencana alam di Garut Selatan akan berangkat. Mbak ikut kan?” tanya perempuan
yang dipanggil Nisa itu.
“Siap,
Insya Allah. Eh, iya, untuk logistik tadi saya dapat bantuan lagi dari
teman-teman jurusan untuk para korban bencana.”
“Alhamdulillah,
ok Mbak. Maaf ya, Nisa pamit dulu, masih ada kesibukan. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam
warahmatullah.” Jawab Putri.
Waktu,
ternyata dapat mengubah seseorang. Siapa yang akan menyangka bila seiring
berjalannya waktu, Putri dapat berubah menjadi seperti sekarang. Menjadi
seorang muslimah yang selalu belajar untuk menjadi baik. Selalu berusaha untuk
membagikan kebaikan dan berbagi kebahagiaan bahwa dekat dengan Allah itu nyaman
adanya.
Rasanya,
hidup ini memang begitu menakjubkan dan penuh dengan segala sesuatu yang tak
dapat ditebak. Dengan penuh rasa syukur Putri memanjatkannya kepada Allah atas
limpahan kasih sayang, perhatian dan tentu saja cintaNya sehingga dibimbing
menuju jalan yang lurus dan penuh amal kebaikan. Menjaga hidayah yang telah
Allah berikan.
Kini,
Putri sudah tingkat akhir di Jurusan Jurnalistik Fakultas Komunikasi sebuah
Kampus Islam di Cibiru. Dia aktif dalam kegiatan dakwah di kampusnya lewat Lembaga
Dakwah Kampus dan ikut terjun dalam politik kampus meskipun tidak secara
langsung. Selain itu, dia pun menyenangi dunia jurnalistik sebagaimana jurusan
yang diambilnya. Sehari-hari dia membawa kamera digital untuk memotret hiruk
pikuk denyut nadi kehidupan di sekitarnya. Cita-citanya yang ingin menjadi
bagian dari jurnalis peradaban membuatnya selalu bersemangat untuk mencari informasi
yang bisa dijadikan berita menjadikan dia aktif sebagai jurnalis di sebuah
radio Islam di daerah Ledeng. Selain itu, dia meminati dunia sastra seperti
menulis puisi dan cerpen. Beberapa puisinya dipublikasikan dalam bentuk
antologi bersama rekan-rekannya di komunitas sastra. Sementara cerpen-cerpennya
telah di muat jurnal-jurnal sastra.
EMPAT
Sore
itu, Putri sedang berada di sebuah rumah makan dekat kampus bersama Mbak Ira,
seniornya di kampus yang sudah wisuda sekaligus guru ngajinya. Suasananya sepi,
hanya meja yang mereka tempati yang terisi, sementara gerimis mengguyur kota Bandung
sejak siang tadi.
“Dik,
ada sebuah amanat yang harus mbak sampaikan.” Kalimat Mbak Ira membuka
percakapan.
“Apa
itu, mbak?”
Mbak
Ira menarik nafas cukup dalam lalu
berkata,
“Tiga
hari yang lalu, suami mbak, Mas Irfan minta tolong katanya ada temannya yang
ingin menikah. Temannya itu bilang kepada mas Irfan untuk bantuin mengkhitbahkan
seorang akhwat untuknya. Mas Irfan tahu nama akhwat tersebut dan tahu bahwa
akhwat itu dekat dengan mbak. Maka Mas Irfan minta mbak untuk bantu
menyampaikan perihal ini kepada akhwat tersebut.”
Mbak
Ira berhenti sejenak untuk meminum orange juice nya kemudian
meneruskan..
“Dik,
amanat yang mbak pegang itu adalah, teman mas Irfan tersebut ingin mengkhitbahmu,
Putri Praningtias!” pungkas Mbak Ira.
Putri
bagaikan tersengat aliran listrik, dia sangat terkejut mendengar pernyataan
dari Mbak Ira yang tak diduga sebelumnya itu. Pandangannya nanar, ada air mata
yang menetes. Wajahnya tertunduk malu, hatinya berkecamuk, jiwanya bergejolak,
pikirannya buyar entah kemana.
“Mbak..”
ucapan Putri terdengar lirih sambil terisak dalam tangisnya, “Salahkah, bila
Putri memendam harapan pada seseorang?” kalimatnya bergetar.
Mbak
Ira hanya tersenyum.
Kemudian
Putri menceritakan sesuatu yang telah enam tahun dia pendam dalam hati. Sebuah
cerita ketika SMA. Sebuah pengharapan cinta kepada seseorang. Wajah teduh yang
selalu ada dalam benaknya. Kehalusan budi pekerti orang itu yang membekas dalam
hatinya. Terekam dalam ingatannya. Kenekatanya untuk mengirim sebuah surat
cinta, kebahagiaannya saat suratnya berbalas dari orang tersebut. Hatinya yang
bergetar saat membaca isi surat tersebut, kesedihan karena cintanya ditolak,
nasehat tentang cinta dari orang itu yang menghujam dalam qalbunya. Isak tangis
saat dia menyadari segala khilafnya. Niatan untuk mencintai dalam diam kepada
orang tersebut yang akhirnya dia pendam dalam hati selama ini. Dan azzam untuk
mengubah alur hidupnya menjadi seorang muslimah yang baik sejak saat itu.
Mbak
Ira terharu mendengarkan cerita tersebut, “Dik, engkau sungguh mencintainya?”
Putri
hanya mengangguk lemah.
“Engkau
mengetahui dimana sekarang dia berada?”
Putri
menggelengkan kepalanya.
“Mbak
boleh tau, siapa nama orang itu?”
“Namanya..
Is… Ismiyanto…”
“Hah,
Ismiyanto?!”
“Iya,
kenapa Mbak?”
“Taukah,
bahwa Ismiyanto itu… adalah nama orang yang ingin mengkhitbahmu!!”
“Be..
benarkah, Mbak??” tutur Putri terbata, “ Ismiyanto yang dulu SMA sama dengan
saya?”
Mbak
Ira mengangguk.
“Yang
dulu aktif di rohisnya?”
Kembali
mbak Ira mengangguk, kini butir air mata mulai menetes dari matanya.
“Ya
Allah… Allahuakbar… Allahuakbar… Allah… Allahuakbar…” takbir Putri terdengar
lirih, Lantas dia beranjak dari kursinya dan memeluk Mbak Ira, menangis sedu
sedan dalam dekapan hangat Mbak Ira.
“Subhanallah,
inilah jalan yang Allah peruntukkan bagimu dik. Jalan cinta yang agung yang
hanya diberikan kepada hambaNya yang ikhlas dan ridho terhadap ketetapanNya.”
Sejurus
kemudian Mbak Ira menunjukkan selembar foto Ismiyanto, untuk memastikan bahwa
dia tidak keliru. Secepat kilat Putri mengangguk, bahwa memang itu adalah
Ismiyanto, yang selama enam tahun ini dia cintai dalam diam dan tak seorang
manusia pun mengetahuinya. Seketika itu pula Putri teringat kalimat Ismiyanto
dalam suratnya.
“Cukup
kepada Allah lah engkau akui memiliki cinta dan jangan beritahukan cinta itu
kepada manusia, cukup cintai dalam diam. Insya Allah, segalanya akan
sesuai dengan kehendak-Nya.”
LIMA
Minggu
sore itu, tiga hari setelah peristiwa peminangan Ismiyanto melalui Mbak Ira
kepadanya, seluruh keluarga Putri sedang berkumpul. Memang cukup sulit bagi
Putri mengumpulkan keluarganya, padahal keinginan menyampaikan berita gembira
itu sudah membuncah sejak detik dimana dia dikhitbah melalui Mbak Ira. Namun
kesibukan ayahnya yang seorang Polisi di Kota Bandung dan memiliki jabatan
tinggi pada institusinya, aktivitas Ibu nya yang mengajar sebagai dosen di
berbagai kampus serta keasyikan adiknya dengan dunianya sendiri menyulitkan dia
untuk berinteraksi dengan mereka semua. Sementara kakaknya sendiri kini sedang
bekerja sebagai staf ahli multimedia di luar pulau Jawa.
Terus
terang, Putri seringkali merasa hampa, sendiri dirumahnya. Karena itulah dia
selalu mencari kesibukan dan berbagai aktivitas. Selain berkecimpung di dunia
jurnalistik dan komunitas sastra. Dia pun aktif memberikan privat kepada
anak-anak SMP di sebuah lembaga privat, kemudian ikut les Biola di dekat
rumahnya di bilangan Jatinangor. Namun, Putri tetap bersyukur, karena dengan
kerumitan kondisi keluarganya ini, dia masih menyalurkan segalanya dalam wadah
positif. Seringkali dia sedih saat melihat realitas anak-anak broken home yang
salah jalan, pergaulan bebas, dekat dengan narkoba dan berbagai macam kenakalan
remaja lainnya.
Dan
Putri pun ingin merangkul mereka, membawa mereka supaya dekat kepada Allah,
memberitahukan pada mereka yang salah jalan itu bahwa dekat dengan Allah itu
ternyata indah, nyaman dan penuh kenikmatan. Berbagi kebahagiaan dan berbagi
hidayah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah seru sekalian alam karena Putri
menyadari, tanpa bantuanNya, mungkin dia tidak akan seperti ini sekarang.
Maka,
sore itu ditemani Mbak Ira yang memang sengaja datang untuk menemaninya, dia
mengutarakan yang beberapa hari ini tertunda.
Semuanya
berjalan lancar, Mbak Ira membantu menyampaikan maksud khitbah dari seorang bernama
Ismiyanto kepada Putri. Kemudian menceritakan kepribadian Ismiyanto, bahwa dia
shalih dan dari keluarga yang taat beragama insya Allah, sudah lulus SI Jurusan
Sejarah sebuah universitas di Jogjakarta dengan predikat memuaskan, kini
bekerja sebagai peneliti di Museum Sribaduga Bandung sekaligus dia menjadi
salah satu founder yayasan sosial yang membantu kaum dhuafa dan yatim
piatu. Ternyata respon Bapak dan Ibu Putri sangat baik. Terlebih setelah mereka
tau bahwa Putri sudah mengenal Ismiyanto sejak SMA namun rasa cinta Putri itu
dipendam dalam hati selama enam tahun hingga Putri sendiri tidak mengetahui
dimanakah keberadaan Ismiyanto selama ini sampai pada akhirnya Allah kembali
mempertemukan mereka melalui Mbak Ira saat ini.
“Boleh bapak lihat foto dia, nak?” pinta Bapak
Putri. Kemudian Mbak Ira menyerahkan selembar Foto Ismiyanto kepada beliau.
Wajah
Pak Iskandar mendadak berkerut, pucat, dan keanehan lainnya.
“TIDAK!”
suara Pak Iskandar menggelegar secara mengejutkan.
Seketika
suasana ruangan itu hening, sunyi senyap. Semuanya terkejut.
“Tidak,
tidak apa pak?” sahut Putri penuh tanya, sementara Ibu dan Mbak Ira
terheran-heran.
“TIDAK!
Bapak tidak akan menikahkan kamu dengan anak ini!”
“kenapa,
pak?” Tanya Putri parau, serasa harapan dalam hatinya dikikis dengan silet,
sakit sekali.
“Lihat,
penampilan wajahnya seperti teroris! Jidat hitam. Ada janggut tipisnya,
wajahnya yang penuh sorot yang bapak tidak sukai.”
“Tapi
Pak..” sergah Mbak Ira, “Dia bukan teroris, penampilannya sangat islami seperti
itu karena dia aktif di Lembaga Dakwah Kampus di Jogjakarta.”
“Pokoknya
bapak tidak suka. Kamu tau, bapak polisi. Bapak tau sifat seseorang dilhat dari
wajahnya. Pokoknya tidak, bapak tidak setuju Putri menikah dengan dia!”
Keputusan
final Bapak bagaikan palu godam yang menghujam hati Putri dengan sangat telak.
Harapan yang sempat dia renda dengan seutuh hati harus hancur seperti itu saja.
Semua
terdiam, tak ada yang berani membantah kalimat pamungkas Pak Iskandar itu.
ENAM
Genap
seminggu sejak peristiwa penolakan bapak atas khitbah Ismiyanto, hati Putri
masih belum pulih benar atas kenyataan yang harus dihadapinya. Rasa cintanya
begitu dalam kepada Ismiyanto. Dan ada rasa sakit ketika Ismiyanto dituduh oleh
bapaknya sendiri memiliki wajah teroris hanya karena dia memelihara janggut.
Apakah benar seperti itu? Dan apakah memang seperti itu semua polisi memandang
setiap lelaki yang berjanggut? Lalu jika demikian, maka setiap orang yang
berjanggut baik yang ada di masjid, yang jadi supir angkot, yang jadi cleaning
service, yang jaga warung, yang
selama ini berceramah dimana-mana, semua itu berarti teroris? Ah, jika memang
demikian maka alangkah sempitnya pemikiran bapaknya itu, desah Putri dalam
hatinya.
“Astagfirullah
Aku tidak boleh berburuk sangka. Bagaimanapun juga, beliau bapakku, yang
membesarkanku. Ya Allah, ampuni aku.”
Dan
pada akhirnya dia menyadari bahwa cinta kepada Allah harus lebih utama dan
lebih dalam.
“Ukhti,
jika engkau mencintai sesuatu, cintailah karena Allah, berusahalah tuk
mendapatkan keridhoanNya.
Dengan cintaNya,
dengan kasih sayangNya.
Usahakanlah bagi ukhti, untuk dapat menarik simpati Allah saja. Janganlah ukhti
berlaku berlebihan dihadapan manusia ( untuk menarik simpati mereka ) sehingga
diri ukhti kepayahan olehnya. Janganlah ukhti seperti itu, walau hasilnya
besar. Ukhti mendapatkan simpati dan sanjungan dari manusia, namun ukhti
menjadi lupa bagaimana cara menarik simpati Allah.”
Dia
kembali teringat nasehat Ismiyanto dalam surat itu enam tahun yang lalu. Putri
sadar, Ismiyanto benar, seharusnya cinta kepada Allah harus di utamakan. Jangan
berpikir untuk mendapatkan simpati dari manusia sementara dia akhirnya lupa
bagaimana cara menarik simpati Allah. Maka dengan segenap ridho atas kejadian
itu, Putri memilih untuk kembali bersemangat di jalanNya. Yakin bahwa jodohnya
sudah ada dalam lauh mahfudz. Tak ada masalah, semuanya Allah yang membuat
skenario kehidupannya.
“Bapak
akan carikan Putri jodoh, kalau Putri memang sudah ingin menikah. Tapi bukan
dengan lelaki yang kemarin itu.” Bilang pak Iskandar.
Putri
membisu di kamarnya. Pak Iskandar mengelus dengan lembut rambut anaknya itu.
Sebetulnya Putri tau benar betapa besar rasa sayang orangtua kepadanya. Mereka
menginginkan anaknya ini menikah dengan lelaki yang betul-betul bisa
menjaganya.
TUJUH
Smartphone
Putri berdering..
“Telepon dari Bapak? Heran tak biasanya bapak
menelepon siang hari seperti ini. Assalamu’alaikum, ada apa pak?” sapa Putri
menjawab telepon.
“Wa’alaikum
salam. Kamu dimana, Nak?”
“Di
kampus pak. Ada apa?”
“Kamu
ke Rumah Sakit Al Islam sekarang! Segera.”
“Lho,
ada apa? Putri ke sana sekarang.”
Dengan
penuh tanda Tanya, Putri menuju parkiran kampus, menstarter Mio Putihnya lalu
berangkat menuju Al Islam.
TUJUH
Lantai
dua Rumah Sakit Al Islam saat itu Nampak tidak terlalu ramai, hanya ada
beberapa orang lalu lalang menyusuri koridornya. Di sebuah sudut tempat duduk,
Pak Iskandar sedang gelisah, bibirnya tak henti berdo’a. tak lama kemudian,
Putri datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada
apa, pak?” kata Putri mengatur nafasnya yang terengah.
Pak
Iskandar langsung memeluk anak perempuannya ini dengan penuh haru, baju
dinasnya sudah basah oleh keringat dari tadi.
“Maaf.. maafkan bapak, nak. Maafkan bapak..” sebuah
kalimat pelan terucap dari bapaknya.
“Kenapa
bapak minta maaf?”
“Duduk..
duduklah nak. Akan bapak ceritakan.”
Lalu
keduanya duduk, angin berhembus pelan membelai jilbab hijau panjang milik
Putri.
“Beberapa
hari lalu bapak ikut shalat jum’at di Masjid Raya Bandung. Isi khutbahnya
menarik sekali. Khatib menceritakan mengenai esensi kehidupan kita di dunia ini
bahwa sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Perasaan bapak seperti
diaduk-aduk, penuh penyesalan bahwa selama ini hidup bapak tidak baik. Bapak
berpikir, bagaimana jika suatu hari nanti bapak meninggal namun tidak memiliki
bekal yang cukup untuk menghadapi pengadilan Allah di hari kiamat kelak.
Sungguh penjelasan khatib muda itu begitu menyentuh hati bapak. Betapa
kehidupan manusia di dunia ini sangat singkat sementara amanah yang dibebankan
itu sangat banyak dan rasanya tidak akan selesai dengan rentang waktu usia kita
yang sangat terbatas ini. Dan kita dianjurkan untuk mengoptimalkan sisa waktu
yang dimiliki ini untuk menabung amal kebaikan, bermanfaat bagi banyak orang
karena semua itu adalahh anjuran dari Allah. Bapak perhatikan wajah khatib muda
itu, rasanya bapak kenal tapi tidak tau dimana. Maka ya sudah, bapak tidak
ambil pusing, mungkin kenal dijalan.
Lalu,
pagi tadi bapak bersama beberapa petugas kepolisian lain melakukan
penggerebekan terhadap Bandar judi di sekitar Peti Kemas Gedebage. Bapak ikut
melakukan pengejaran terhadap gembong Bandar judi itu. Menembakan tembakan
peringatan ke udara. Fokus bapak adalah si gembongnya itu. Tapi dia tidak mau
menyerahkan diri, maka bapak terus mengejarnya. Hingga tiba di jalan raya
Sukarno-Hatta bapak tidak berani melakukan tembakan karena banyak warga. Ketika
dia nekat menyebrang jalan padahal banyak mobil melintas cepat, bapak ikut
menyebrang, tapi bapak tersandung lubang ditengah jalan. Di saat seperti itu,
ada sebuah sedan yang ngebut ke arah bapak, terdengar suara rem keras namun
mobil masih melaju kencang. Waktu itu bapak pasrah, tapi tiba-tiba ada yang
mendorong bapak ke pinggir jalan. Lalu terdengar bunyi tabrakan. Bapak selamat,
tapi orang yang menolong bapak itu tertabrak dan terlempar beberapa meter.
Bapak buru-buru melihat penolong bapak itu sementara petugas lain langsung
menghampiri dan membawanya ke Al Islam. Saat bapak saksikan, ternyata wajahnya
sama dengan yang menjadi khatib Jum’at waktu itu. Dan… “
Bapak
menarik nafas sejenak, tak ingin air mata yang mau menetes dari wajahnya itu
diketahui anaknya, namun tetap saja, ada butiran yang mengalir pada akhirnya.
“Dan..
setelah bapak ingat kembali, wajah khatib muda penyelamat bapak itu mirip
sekali dengan wajah lelaki yang tempo hari mengkhitbahmu, Ismiyanto…” lalu
tangis Pak Iskadar tak tertahankan lagi, dia memeluk Putri erat.
Sementara
Putri terkejut bukan alang kepalang, rasanya seluruh persendian tubuhnya copot.
Lemas. Sekuat tenaga dia menahan untuk tidak jatuh.
“Maafkan, maafkan bapak nak. Waktu itu
ternyata bapak salah menilai. Ternyata Ismiyanto berhati malaikat. Maafkan
bapak nak, telah menilai Ismiyanto dengan perkataan buruk pada waktu itu.
Ismiyanto bukanlah wajah seorang teroris tetapi merupakan wajah seorang muslim
yang taat, muslim yang menebarkan banyak kebaikan dan memberikan keteduhan bagi
setiap orang.”
Putri
tak kuasa menahan tangis, rasa syukur kepada Allah.
“Dan,
bapak berjanji, jika Ismiyanto selamat, bapak akan menikahkan kamu dengan dia,
nak!”
Putri
hanya sanggup merintih penuh rasa syukur dan tangis tak terbendung, dia memeluk
bapaknya dengan penuh keharuan.
Betapa
penantian panjangnya ini menuju titik puncak. Betapa kesabarannya selama ini
mendapatkan ridho dari Allah. Betapa besar kasih sayang Allah kepadanya,
menjaga cintanya dari hal yang dilarang, memberikan cahaya kedamaian kepada
bapaknya. Menyediakan sebuah jalan yang indah untuk merangkai bait-bait
cintanya.
Tak
lama kemudian seorang dokter yang merawat Ismiyanto keluar dari ruang perawatan
menghampiri mereka berdua.
“Dok,
bagaimana keadaan Ka’Is?” Tanya Putri penuh harap. Dia tersipu malu, kenapa dia
duluan yang bertanya bukan bapaknya dulu. Dan dia kembali teringat, sapaan
Ka’Is adalah sapaanya sewaktu SMA, enam tahun lampau.
“Alhamdulillah,
Allah mencintai pemuda ini. Lukanya tidak parah, hanya retak bagian pinggulnya,
Karena benturan dengan bibir mobil. Namun tidak apa-apa, insya Allah bisa
sembuh. Tekanan darahnya juga normal. Bersyukurlah, Allah menyelamatkan jiwa
pemuda ini, pasti banyak kebaikan yang telah dilakukannya sehingga Allah
senantiasa menjaganya dari marabahaya. Oh iya, jangan lupa segera hubungi
keluarganya supaya beliau semakin dikuatkan. Maaf saya pamit dulu, ada pasien
lain yang harus saya rawat.”
Dalam
hati keduanya bersyukur kepada Allah, bersyukur Allah telah menyelamatkan
Ismiyanto.
DELAPAN
Hanya
tiga hari Ismiyanto dirawat di Al Islam, setelah itu keluarganya membawa dia
pulang ke kampung halamannya di Cianjur untuk dirawat oleh pamannya yang
memiliki keahlian dalam mengobati tulang secara alternatif. Ya, meskipun bagian
pinggulnya saja yang retak namun itu sungguh mengganggu aktivitasnya. Dia belum
bisa berdiri lama-lama. Pamannya ini sendiri dulu pernah mengobatinya ketika
tangannya patah. Waktu itu, dokter bilang untuk menyambungkan kembali tangan
Ismiyanto butuh waktu sekitar satu tahun, namun dengan keahlian yang dimiliki
sang paman, dalam tempo dua bulan akhirnya tangan Ismiyanto sudah bisa
menyambung lagi.
Dan
demi kesembuhannya itu pula, dia diijinkan mengambil cuti dari Museum Sribaduga
sampai sembuh. Ismiyanto berharap dalam waktu dekat bisa sembuh, minimal
kondisinya bisa lebih baik untuk melakukan aktivitas sehari-harinya.
SEMBILAN
Enam
tahun mengembara mencari ilmu dan menjauhi Putri agar terjaga dari fitnah.
Menghilang dari radar kehidupan Putri supaya dia bisa tenang menemukan dan
mengokohkan cintanya. Karena dia sendirilah yang mengatakan untuk lebih
mencintai Allah terlebih dahulu daripada mencintai makhluk, maka dia berupaya
untuk mencintai Allah, kemudian ridho atas ketentuan Allah.
Jaringan
luas yang dia miliki, ketika dia merasa sudah mantap untuk mengkhitbah Putri,
melalui link itulah dia menemukan dimanakah Putri sekarang berada.
Seperti
inilah jalan yang Allah tetapkan baginya, maka selesai shalat dhuha sebelum
berangkat ke tempat akad nikah di Bandung, dia berdo’a..
”Ya
Allah ya Rahman, betapa agung jalan yang Engkau siapkan bagiku. Betapa tak
terhingganya bahagia dalam hati ini. Betapa rasa syukur senantiasa menggetarkan
jiwa ini. Ya Allah, pada hari ini, Engkau telah ridhoi aku untuk mewujudkan
harapan yang selama enam tahun ini hamba pendam. Rasa syukurku tiada terkira
kepadaMu ya Allah. Sungguh berapa juta kalipun ku berucap, kebahagiaanlah yang
akan senantiasa terlontar. Betapa indah, betapa indah jalan cintaMu ya Rabbi.”
Lalu
sujud syukur yang menggetarkan sanubarinya.
Perjalanan
menuju Bandung betapa indahnya, berbahagianya, menggetarkan hatinya. Senyuman
tak lepas darinya. Indah karena hari ini akan terwujudlah cita-citanya. Maka
dua jam waktu yang ditempuh tak terasa sudah tiba di tempat tujuan.
Setelah
rangkaian acara seremonial, maka tibalah acara inti, akad nikah.
Ismiyanto
dikelilingi oleh wali nikah, pencatat dari KUA dan kerabat keluarga, jajaran
kepolisian serta teman-teman dari kedua mempelai yang ikut memenuhi Masjid Kampus
itu. Sementara di jarak yang tidak terlalu jauh, Putri Praningtias berdegup
kencang menunggu pengesahannya sebagai istri dari Ismiyanto. Dia pun berterima kasih
kepada teman-teman di dakwah kampus yang telah membantu melancarkan rangkaian
acara walimahan ini. Ada keringat yang menetes, karena ketegangan yang
membahagiakan tentunya.
“Saudara
Ismiyanto bin Hasan Sayuti apakah engkau bersedia menerima Putri Praningtias
binti Iskandar Zulkarnain sebagai istrimu?”
“Ya,
saya bersedia!” Jawab Ismiyanto mantap.
“Baik,
saya nikahkan anak kandung saya, Putri Praningtias binti Iskandar Zulkarnain dengan
mas kawin emas seberat duapuluh gram dan mushaf al Qur’an serta bacaan surah Ar
Rahmaan ayat satu sampai enambelas dibayar tunai.”
“Saya
terima nikahnya Putri Praningtias binti Iskandar Zulkarnain dengan Mas kawin
emas seberat duapuluh gram dan mushaf al Qur’an serta bacaan surah Ar Rahmaan ayat
satu sampai enambelas dibayar tunai.” Jawab Ismiyanto tegas. Kemudian dia
membacakan surah Ar Rahmaan.
“’audzubillahi
minasyaithannir rajiim. Bismillahir rahmaanir rahiim. Ar rahmaan, allamal
qur’aan, khalaqal insaan, allamahul bayaan, assyamsu wal qamaru bi husbaan, wan
najmu was sajaru ya judaan, wassama’a rafa’aha wa waa dha’al miizan, alla tat
khaufil miizaan, wa aqimul wadzna bil qisti walaa tuhsirul miizan, wal ardho
wadha’aha li aanaam, fiiha faa qihataw wanahlu dzaatul akmam, wal habbu dzul
asyfi warraihaan, fabiayyi alaa irobbikuma tukadzdzibaan, khalaqal insaana min
sholshoolin kal fakhaar, wa khalaqal jaanna mimmaa rizimmin naar, fabiayyi alaa
irobbikuma tukadzdzibaan. ”
Tuhan
Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan al Qur’an, Dia menciptakan manusia,
mengajarkannya pandai berbicara, Matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan, dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNYA,
dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan, supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu, dan Allah telah meratakan
bumi untuk makhlukNYA, di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang
mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang
harum baunya, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dia
menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin
dari nyala api tanpa asap, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?
Dan
seluruh penjuru masjid pun bergemuruh hanyut dalam lantunan bacaan Ismiyanto.
Hanyut dalam renungan, betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada
kita, betapa kita diingatkan untuk tidak pernah melupakan apa yang telah Allah
karuniakan.
Maka
setelah semuanya sah, seluruh hadirin memanjatkan do’a kepada dua mempelai ini,
yang baru saja mengikatkan ikrar suci, sehidup semati, dalam naungan cinta
ilahi, menuju kebahagiaan yang abadi, cinta Allah yang hakiki.
Barakallahu laka wabaraka alaika, jama’a bainakuma fi khair, insya
Allah..
EPILOG
Pagi
hari yang cerah, ada sepucuk surat tergeletak di meja belajar Putri. Perlahan
dia membukanya. Benaknya sudah bisa menebak, itu dari Ka’Is tercinta yang baru
saja keluar rumah untuk berolahraga.
Teruntuk Istriku tercinta
Putri Praningtias
Istriku, aku ingin berterusterang kepadamu betapa aku mencintaimu.
Mengharapkan ridha Allah dengan pernikahan kita ini. Tak ada alasan lain untuk
menikahimu selain ingin meneladani sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Betapa kerinduan itu sangat terpancar jelas tatkala membaca jejak-jejak
peri kehidupan sang Baginda dalam meniti rumah tangga. Menyapamu dengan sapaan
terindah. Mengecup keningmu penuh rasa sayang. Menggenggam erat tanganmu saat
kita berjalan. Makan bersama. Minum bersama. Aku akan berusaha selalu baik
kepadamu, sebagaimana sabda Rasulullah, “Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka. Dan sebaik-baiknya kalian
adalah yang paling baik terhadap istrinya.”
Aku merasakan apa yang engkau rasakan. Aku telah memikirkanmu sebelum
engkau sempat memikirkanku. Aku ingin mengekspresikan rasa cintaku kepadamu
dengan sederhana dan bersahaja. Memperlakukan dirimu dengan lembut dan penuh
perhatian karena engkau begitu berharga bagiku, wahai bidadari syurgaku.
Di sini, kita akan membangun sebuah keluarga yang membuahkan
ketenteraman dan kedamaian hati. Penuh dengan cinta yang meluap-luap menuju
muara cinta-Nya. Hingga pada akhirnya, buah dari itu semua adalah melahirkan
generasi-generasi terbaik yang menjadi penyejuk jiwa kita.
Suamimu
tercinta, Ismiyanto
NB: Istriku, setelah membaca surat ini, bergegaslah ke taman depan
rumah, ada kejutan dariku untukmu. Lihatlah keluar jendela kamar kita ini.
Putri
memandang jendela dengan wajah merah merona, di sana ada suaminya menanti. Ia
pun bergegas membenahi jilbabnya kemudian keluar menghampiri lelaki sederhana
yang dicintai sepenuh hati itu.
-tamat-
0 comments:
Posting Komentar