Diantara kebahagiaan seorang penulis adalah ketika novel/cerpennya berhasil di filmkan. Kebahagiaan itu akan semakin berlipat jika dia memiliki otoritas untuk menjaga agar filmnya tidak kehilangan ruh aslinya. Banyak terjadi pihak Production House membeli judul novel/cerpen namun penulisnya tidak memiliki ruang untuk mengontrol isi film. Akibatnya sering terjadi hal-hal esensial di dalam novel/cerpen dihilangkan dalam film atas nama komersialitas. Ruhnya jadi hilang, jalan cerita produk visualnya jadi ke mana-mana.
Diantara film adaptasi novel terbaik yang pernah saya tonton adalah Ketika Cinta Bertasbih, itu isi filmnya inspiratif, betul-betul menimba ruh-ruh inti dari dalam novel tulisan Habiburrahman el Shirazy ke permukaan. Keteguhan Helvy Tiana Rosa dalam memperjuangkan film Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali original pun, yang kuat nuansa idealisme sangat pantas diberikan apresiasi. Sehingga pihak production house tidak diberikan ruang yang leluasa untuk memain-mainkannya.
Novel Kutemukan Engkau dalam Setiap Tahajudku karya Dewi Puspitasari adalah salahsatu novel romansa lokal terbaik yang pernah saya baca. Tokoh Agus di dalam cerita itu benar-benar menginspirasi dan menggugah diri. Tatlaka sebuah production house mengadaptasikannya dalam FTV Drama, saya menunggu-nunggu penayangannya. Tetapi, saat diputar, kekecewaan saya dapatkan. Kok tokoh Agus sebagai tokoh utama, jauh berbeda dengan yang dimunculkan dalam film. Agus itu gondrong, tetapi dalam film plontos. Hal-hal yang kecil seperti ini saja sudah mempengaruhi cara pandang secara keseluruhan.
Begitu juga dengan novel HAMKA Di Bawah Naungan Ka'bah. Sangat mengganggu sekali keberadaan iklan-iklan sponsor yang dipaksakan masuk menjadi bagian di dalam film. Tentu saja menjadi kontradiksi yang ahistoris.
Memang menjadi tantangan tersendiri bagi seorang penulis ketika tawaran-tawaran dari production house berdatangan. Sebuah pertarungan idealisme dipertaruhkan di sana.
HD Gumilang
Peminat Sejarah-Penikmat Sastra-Pemikat Politik
0 comments:
Posting Komentar