Selasa, 10 November 2015

Resensi Buku: Antologi Cerpen Ilusi Malahayu

Anatomi Buku
Judul                           : Antologi Cerpen Ilusi Malahayu
Penerbit                       : FLP Publishing
ISBN                           : 978-602-161417
Penulis                         : Tim Penulis FLP
Tahun terbit                 : 2015
Tebal buku                  : 212 halaman
Dimensi buku              : 14 x 19 cm

Dalam kata pengantarnya, Sinta Yudisia1 menceritakan bahwa 17 naskah dalam antologi cerpen ini mewakili langkah FLP yang telah menapaki 17 tahun sejak berdirinya di tahun 1997. Di sini, Sinta menegaskan bahwa idealisme FLP adalah rumah bagi penulis muslim yang ingin bersama-sama mewujudkan -diberikan garis tebal- Sastra Santun yang membangun peradaban umat, “Para penulis muslim ini akan mencerahkan dunia dengan jejak karya gemilang yang akan terus, terus, terus abadi hingga akhir nanti. Menjadi karya yang dikagumi penduduk bumi dan langit.”

Di sini, khusus ingin mengulas secara sederhana ke-5 cerpen yang dimuat dalam antologi ini. Yakni mereka yang berasal dari cabang-cabang di wilayah Jawa Barat, antara lain Agus Shahafi Nashshar; Riana Yahya; Nurul Maria Sisilia; Ferio; dan Lina Astuti.

Agus Shahafi Nashshar2 dengan cerpennya Malahayu. Kita bisa belajar banyak tentang penggunaan sudut pandang orang ketiga dengan kata ganti, ‘Kau’. Cerpen ini berkisah tentang ‘sesuatu’ yang orang bilang kerap terjadi pada turn -penduduk setempat biasa menyebutnya Turen- (hal. 29) di waduk Malahayu sekitaran daerah kota Brebes.

Pada cerpen ini, kitapun diajak pada pernyataan-pernyataannya yang retoris dan bisa membuat kita terpaku dan merenung, seperti di sini:

OB itu membawamu menerobos sebuah pintu bertuliskan ‘selain karyawan dilarang masuk’, tulisan yang lebih dipatuhi ketimbang ’dilarang merokok’. (hal. 31). Coba pikir, betapa nyelekitnya kalimat tersebut, bukan?

Pada cerpen ini, Agus ingin memberikan pesan bahwa kejadian-kejadian tidak semestinya dikaitkan dengan mitos-mitos, ketika tokoh Amir -seorang office boy- dengan menggebu bercerita bahwa Turen di Malahayu itu pembawa sial (hal. 32-33). Lewat perantara Pak Cartim, dia bertutur menepisnya:

“Hanya saja memang, karena Waduk Malahayu ini memiliki nilai sejarah serta banyak legenda serta mitos yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu maka seperti kurang puas rasanya jika setiap kejadian yang terjadi di sini tidak dikaitkan dengan hal-hal berbau mitos ataupun mistis. Contohnya waktu kejadian di Turen itu,” lanjut Pak Cartim sambil melongok ke arah Turen, “Sebuah kecelakaan yang bisa terjadi di mana saja.” (hal. 39)

Riana Yahya3 mengambil tema perjalanan menembus waktu. Pada cerpen ini, kita akan menemukan bertumpuk-tumpuk pelajaran penting yang berlatarkan penolakan Hana atas rencana ibunya yang sudah berumur 48 tahun (hal. 44) menikah lagi dengan seorang duda pengusaha batik. Lewat kejadian luarbiasa di Lapangan Karang Pawitan, Hana tersedot oleh mimpi ‘yang nyata’ ke daerah Sleman bertemu dengan duda calon ayah tirinya itu yang akan mengubah cara pandangnya selanjutnya (hal. 52). Diantara pelajaran itu yakni: bahwa menikah lagi taklantas, ‘menggantikan posisi ayah di hati kami,’ (hal. 53). Bahwa ada adab yang mesti dipegang teguh seorang wanita berupa menutup aurat, seperti yang diutarakan Ima kecil kepada Hana:

“Rambut cantik ini untuk suami kakak saja nanti yang boleh lihat ya!” egoku tersentil. Betapa bodohnya, bahkan Ima yang masih kelas 1 SD tahu bahwa sebagai seorang muslimah yang sudah baligh, aku wajib menutupi auratku. (hal. 50).

Nurul Maria Sisilia4 mengetengahkan sebuah cerpen berjudul Kematian Mpus. Cerpen ini berkisah tentang seorang tua renta bernama Haji Mpud yang ditinggal anak-anaknya di kampung. Sehari-hari Haji Mpud mengasuh kucing. Kedatangan si bungsulah mengubah segalanya lewat tuduhan penyakit Toxoplasma yang membuatnya mandul. Ironisme dalam kisah ini begitu kuat, yakni tentang kematian Mpus, induk semua kucing asuhan Haji Mpud dilindas oleh mobil merah milik menantunya sendiri (hal. 68). Pada cerpen ini, Nurul juga ingin memberikan kita tambahan wawasan bagaimana latarbelakang narator-tempat-dan susunan kata harus berkaitan erat. Kematian Mpus berlatar lingkungan Sunda, sehingga gaya penuturan -dalam menyusun kata- harus bercirikan Sunda. Tidak hanya dalam dialog tetapi dalam narasinya juga, semisal contoh:

Warga Bojong sudah mengenal lelaki itu, Haji Mpud, sebagai bapak kucing-kucing. Sedikit pun Haji Mpud tidak keberatan dengan julukan itu. mirip julukan sahabat Nabi, Abu Huroiroh, katanya. (hal. 63)

Penyebutan ‘Abu Huroiroh’ dengan huruf ‘O’ merupakan dialek Sunda. Sedangkan dalam dialek Indonesia huruf ‘O’ diganti dengan huruf ‘A’ menjadi Abu Hurairah. Di sini, Nurul memberikan penguatan yang penting dalam bertutur.

Ferio5 menyuguhkan cerpen berjudul Ilusi. Pada paragraf pertama langsung menyajikan sebuah paradoks, ketika manusia lebih mengagumi benda ciptaannya daripada dirinya sendiri:

Secara lahir, aku mengagumi mesin berotak digital ini. Seolah mengalahkan otak penemunya, manusia. kemampuannya menerjemah, menyimpan, dan mengolah data yang disuguhkan sungguh luar biasa. (hal. 141)

Tetapi paradoksial itu langsung ditepisnya pada kalimat selanjutnya:

…. Tetapi, tetaplah manusia dalang bagi alat ini. Merancang, menyusun, dan mengoperasikan. (hal. 141)

Si ‘Aku’ dalam cerita ini merupakan sosok yang dikejar deadline tulisan. Kemudian dia bertemu dengan sesosok makhluk yang membawanya berkontemplasi tentang kerusakan di muka bumi ulah tangan manusia (hal. 145). Kemudian -dalam ilusinya itu- rentetan bencana datang yang berguncang dan mengguncang si ‘Aku’.

Sesuatu yang lain yang juga menarik di sini adalah kemauan Ferio menggunakan beberapa istilah Latin seperti homosapiens dan populus sebagai kata ganti manusia dan orang (hal. 143).

Lina Astuti6 dalam antologi ini mengangkat tema lokalitas-kepahlawanan yang mengangkat kiprah seorang tentara bernama Kolonel Lukas Sutaryo. Kolonel Lukas dijuluki ‘begundal Karawang’ oleh tentara Belanda (hal. 160).

Sang Begundal Karawang ini bertutur lancar lewat pertemuan mimpi yang dialami seorang mahasiswa bernama Kunto. Secara kebetulan Kunto ini hendak mendeklamasikan puisi Karawang-Bekasi gubahan penyair Chairil Anwar di Monumen Pembantaian Rawagede. Lina, secara luwes juga mengangkat isu kontemporer tentang tuntutan para korban Rawagede terhadap pemerintah Belanda di akhir ceritanya (hal. 164).

[]
________________________
1Ketua Umum FLP Pusat 2013-2018
2Pegiat FLP; Ketua FLP Cabang Kuningan 2015-2017
3Pegiat FLP ; Anggota FLP Cabang Karawang
4Pegiat FLP, Ketua FLP Cabang Bandung 2013-2015
5Pegiat FLP, Ketua FLP Cabang Sumedang 2015-2017
6Pegiat FLP, Ketua FLP Cabang Karawang 2013-2015

7Pegiat FLP, Pengurus FLP Wilayah Jawa Barat 2013-2015

0 comments:

Posting Komentar