Anatomi
Buku
Judul : Antologi Cerpen Ilusi
Malahayu
Penerbit : FLP Publishing
ISBN : 978-602-161417
Penulis : Tim Penulis FLP
Tahun
terbit : 2015
Tebal
buku : 212 halaman
Dimensi
buku : 14 x 19 cm
Dalam kata pengantarnya,
Sinta Yudisia1 menceritakan bahwa 17 naskah
dalam antologi cerpen ini mewakili langkah FLP yang telah menapaki 17 tahun
sejak berdirinya di tahun 1997. Di sini, Sinta menegaskan bahwa idealisme FLP
adalah rumah bagi penulis muslim yang ingin bersama-sama mewujudkan -diberikan
garis tebal- Sastra Santun yang membangun peradaban umat, “Para penulis muslim
ini akan mencerahkan dunia dengan jejak karya gemilang yang akan terus, terus,
terus abadi hingga akhir nanti. Menjadi karya yang dikagumi penduduk bumi dan
langit.”
Di sini, khusus
ingin mengulas secara sederhana ke-5 cerpen yang dimuat dalam antologi ini. Yakni
mereka yang berasal dari cabang-cabang di wilayah Jawa Barat, antara lain Agus
Shahafi Nashshar; Riana Yahya; Nurul Maria Sisilia; Ferio; dan Lina Astuti.
Agus Shahafi
Nashshar2 dengan cerpennya Malahayu. Kita
bisa belajar banyak tentang penggunaan sudut pandang orang ketiga dengan kata
ganti, ‘Kau’. Cerpen ini berkisah tentang ‘sesuatu’ yang orang bilang kerap
terjadi pada turn -penduduk setempat biasa menyebutnya Turen- (hal. 29) di
waduk Malahayu sekitaran daerah kota Brebes.
Pada cerpen ini,
kitapun diajak pada pernyataan-pernyataannya yang retoris dan bisa membuat kita
terpaku dan merenung, seperti di sini:
OB itu membawamu menerobos sebuah pintu bertuliskan
‘selain karyawan dilarang masuk’, tulisan yang lebih dipatuhi ketimbang ’dilarang
merokok’. (hal.
31). Coba pikir, betapa nyelekitnya
kalimat tersebut, bukan?
Pada cerpen ini,
Agus ingin memberikan pesan bahwa kejadian-kejadian tidak semestinya dikaitkan
dengan mitos-mitos, ketika tokoh Amir -seorang office boy- dengan menggebu
bercerita bahwa Turen di Malahayu itu pembawa sial (hal. 32-33). Lewat
perantara Pak Cartim, dia bertutur menepisnya:
“Hanya saja memang, karena Waduk Malahayu ini
memiliki nilai sejarah serta banyak legenda serta mitos yang diwariskan oleh
nenek moyang terdahulu maka seperti kurang puas rasanya jika setiap kejadian
yang terjadi di sini tidak dikaitkan dengan hal-hal berbau mitos ataupun
mistis. Contohnya waktu kejadian di Turen itu,” lanjut Pak Cartim sambil
melongok ke arah Turen, “Sebuah kecelakaan yang bisa terjadi di mana saja.” (hal. 39)
Riana Yahya3 mengambil tema
perjalanan menembus waktu. Pada cerpen ini, kita akan menemukan
bertumpuk-tumpuk pelajaran penting yang berlatarkan penolakan Hana atas rencana
ibunya yang sudah berumur 48 tahun (hal. 44) menikah lagi dengan seorang duda
pengusaha batik. Lewat kejadian luarbiasa di Lapangan Karang Pawitan, Hana
tersedot oleh mimpi ‘yang nyata’ ke daerah Sleman bertemu dengan duda calon
ayah tirinya itu yang akan mengubah cara pandangnya selanjutnya (hal. 52). Diantara
pelajaran itu yakni: bahwa menikah lagi taklantas, ‘menggantikan posisi ayah di
hati kami,’ (hal. 53). Bahwa ada adab yang mesti dipegang teguh seorang wanita
berupa menutup aurat, seperti yang diutarakan Ima kecil kepada Hana:
“Rambut cantik ini untuk suami kakak saja nanti yang
boleh lihat ya!” egoku tersentil. Betapa bodohnya, bahkan Ima yang masih kelas
1 SD tahu bahwa sebagai seorang muslimah yang sudah baligh, aku wajib menutupi
auratku.
(hal. 50).
Nurul Maria
Sisilia4 mengetengahkan sebuah cerpen
berjudul Kematian Mpus. Cerpen ini berkisah tentang seorang tua renta bernama
Haji Mpud yang ditinggal anak-anaknya di kampung. Sehari-hari Haji Mpud
mengasuh kucing. Kedatangan si bungsulah mengubah segalanya lewat tuduhan
penyakit Toxoplasma yang membuatnya mandul. Ironisme dalam kisah ini begitu
kuat, yakni tentang kematian Mpus, induk semua kucing asuhan Haji Mpud dilindas
oleh mobil merah milik menantunya sendiri (hal. 68). Pada cerpen ini, Nurul
juga ingin memberikan kita tambahan wawasan bagaimana latarbelakang
narator-tempat-dan susunan kata harus berkaitan erat. Kematian Mpus berlatar
lingkungan Sunda, sehingga gaya penuturan -dalam menyusun kata- harus
bercirikan Sunda. Tidak hanya dalam dialog tetapi dalam narasinya juga, semisal
contoh:
Warga Bojong sudah mengenal lelaki itu, Haji Mpud,
sebagai bapak kucing-kucing. Sedikit pun Haji Mpud tidak keberatan dengan
julukan itu. mirip julukan sahabat Nabi, Abu Huroiroh, katanya. (hal. 63)
Penyebutan ‘Abu
Huroiroh’ dengan huruf ‘O’ merupakan dialek Sunda. Sedangkan dalam dialek
Indonesia huruf ‘O’ diganti dengan huruf ‘A’ menjadi Abu Hurairah. Di sini,
Nurul memberikan penguatan yang penting dalam bertutur.
Ferio5 menyuguhkan
cerpen berjudul Ilusi. Pada paragraf pertama langsung menyajikan sebuah
paradoks, ketika manusia lebih mengagumi benda ciptaannya daripada dirinya
sendiri:
Secara lahir, aku mengagumi mesin berotak digital
ini. Seolah mengalahkan otak penemunya, manusia. kemampuannya menerjemah,
menyimpan, dan mengolah data yang disuguhkan sungguh luar biasa. (hal. 141)
Tetapi
paradoksial itu langsung ditepisnya pada kalimat selanjutnya:
…. Tetapi, tetaplah manusia dalang bagi alat ini. Merancang,
menyusun, dan mengoperasikan. (hal. 141)
Si ‘Aku’ dalam
cerita ini merupakan sosok yang dikejar deadline
tulisan. Kemudian dia bertemu dengan sesosok makhluk yang membawanya
berkontemplasi tentang kerusakan di muka bumi ulah tangan manusia (hal. 145).
Kemudian -dalam ilusinya itu- rentetan bencana datang yang berguncang dan
mengguncang si ‘Aku’.
Sesuatu yang
lain yang juga menarik di sini adalah kemauan Ferio menggunakan beberapa
istilah Latin seperti homosapiens dan
populus sebagai kata ganti manusia
dan orang (hal. 143).
Lina Astuti6 dalam antologi
ini mengangkat tema lokalitas-kepahlawanan yang mengangkat kiprah seorang
tentara bernama Kolonel Lukas Sutaryo. Kolonel Lukas dijuluki ‘begundal
Karawang’ oleh tentara Belanda (hal. 160).
Sang Begundal
Karawang ini bertutur lancar lewat pertemuan mimpi yang dialami seorang
mahasiswa bernama Kunto. Secara kebetulan Kunto ini hendak mendeklamasikan
puisi Karawang-Bekasi gubahan penyair Chairil Anwar di Monumen Pembantaian
Rawagede. Lina, secara luwes juga mengangkat isu kontemporer tentang tuntutan
para korban Rawagede terhadap pemerintah Belanda di akhir ceritanya (hal. 164).
[]
Sumbernya dari tulisan saya di Blog FLP Jawa Barat
________________________
1Ketua Umum FLP
Pusat 2013-2018
2Pegiat FLP; Ketua
FLP Cabang Kuningan 2015-2017
3Pegiat FLP ;
Anggota FLP Cabang Karawang
4Pegiat FLP, Ketua
FLP Cabang Bandung 2013-2015
5Pegiat FLP,
Ketua FLP Cabang Sumedang 2015-2017
6Pegiat FLP,
Ketua FLP Cabang Karawang 2013-2015
7Pegiat FLP, Pengurus
FLP Wilayah Jawa Barat 2013-2015
0 comments:
Posting Komentar