Senin, 12 November 2012

Temaram Cahaya


Pertigaan Pasar Padalarang. Aku baru saja turun dari Bus Hiba Putra bersama bebrapa penumpang lain yang juga turun di Padalarang. Ketika pertama kali turun yang aku rasakan adalah sengatan Sang Surya, padahal hari sudah menjelang sore. Tapi ini tak mengurangi minat orang-orang untuk berlalu lalang di jalanan.
            Aku mulai langkahkan kaki di trotoar sambil sesekali melayangkan pandangan ke arah angkot yang sedang menunggu penumpang. Di sudut-sudut jalan aku lihat abang-abang yang jualan es cendol, es kelapa muda, martabak, cimol, dan banyak lagi. Berjejer bersama toko-toko dan supermarket yang menghiasi daerah itu. Subhanallah, gumamku dalam hati. Mereka seakan tak pernah lelah untuk mencari nafkah dengan berdagang. Semoga kalian sukses seperti sahabat Rasulullah, Abdurrahman bin Auf, doaku dalam hati. Namun, lima puluh meter dari sana pandanganku langsung tertuju pada seorang pemuda yang berpakaian lusuh, rambut yang kumal dan kulitnya hitam karena terbakar Sang Mentari. Aku perhatikan wajahnya yang memelas meminta belas kasihan pada orang-orang yang lewat.
            Aku merogoh sakuku, alhamdulillah uang Rp 1.000. Ada kesempatan untuk beramal. Sambil memperhatikan wajahnya yang entah mengapa seolah aku mengenalinya. Hingga bebrapa langkah didekatnya sambil membungkukkan kepala aku berucap, “Semoga Allah merahmatimu, ya Abdullah...!”
            Dia menatapku, tersentak kaget. Mukanya tegang. Aku jadi salah tingkah, ku coba alihkan pandangan dan buru-buru pergi. Tapi... setelah aku berjalan satu dua langkah, mataku terbelalak.
            “Idan?!” teriakku sambil membalikan badan ke arah pemuda itu, “Idan kan?!” ulangku lagi lantas menghampirinya.
            Pemuda itu semakin takut. Serta merta dia ambil kaleng yang berisi uang recehan itu. Lantas lari meinggalkanku. Aku coba mengejar dan tak henti memanggil namanya.
            “Idan , tunggu!!”
            Semua orang memperhatikan kami, walau ada juga yang acuh tak acuh. Cepat juga Idan berlari. Hingga aku kehilangan jejaknya. Wajahku gusar menebarkan pandangan kekanan kiri. Berharap untuk temukan sahabatku itu. Tapi dimana dia sekarang bersembunyi? Idan dimana engkau, tanyaku dalam hati. Kepalaku menunduk, lelah. Ada bebrapa peluh yang mengucur di kening. Lantas aku beristirahat di bangku es cendol yang ada disebelahku.
            “Mang, tolong satu gelas es cendol.” Pesanku sambil mengibas tubuh yang kegerahan dengan tangan.
            Tukang es cendol itu megangguk.
            Selama menunggu, aku berfikir tentang sahabatku tadi, Idan. Ya, kami dulu adalah teman yang akrab. Aku dan dia berasal dari Cikamuning dan sewaktu SMP satu sekolahan. Sebelum akhirnya aku pindah ke Cianjur lantaran rumahku kena proyek jalan tol. Yang sayangnya ternyata hanya proyek uji coba belaka. Seandainya aku tahu begini akhirnya, aku dan keluargaku tak mungkin mau pindah. Tapi, astagfirullah! Jangan sampai aku berandai seperti itu, ya Allah. Sesungguhnya ini  semata-mata adalah takdirMu...
            Idan itu anak orang kaya, punya banyak sawah, rumahnya pun luas. Karena waktu kecil dulu, aku sering bermain di rumahnya. Namun pemandangan yang aku lihat barusan seakan memutarbalikkan fakta. Benarkah roda kehidupan telah berputar kepadanya?
            “Kang, ieu es na.” Suara tukang cendol menghancurkan lamunanku.
            “Oh, iya. Ditampi, mang.” Sahutku tersenyum sambil menerima es cendolnya.
            “Bismillahir rahmannir rahim.” Doaku sebelum meminumnya.
            Baru beberapa suap cendol yang masuk tenggorokan, aku kembali dikagetkan oleh sebuah ucapan salam.
            “Ass... salamu’alaikum...” suaranya terdengar bergetar.
            “Waalaikum’salam,” jawabku sambil mengangkat kepala ke arah suara itu. Mulutku mengagga tak percaya, “Masya Allah, Idan!?”
            “Ri... rizal, kan?” tanya Idan ragu-ragu.
            Aku mengagguk terpana, seolah tak percaya bahwa yang berdiri di hadapanku adalah Idan. Terlihat olehku wajahnya yang pias.
            “Ma... maafkan aku?” ucapnya lirih.
            Kutaruh es cendol yang ada di tanganku itu, kemudian berdiri memegang bahu Idan erat.
            Sambil menyunggingkan senyum aku menjawab, “Gak apa-apa, sobat.” Lalu mengajaknya duduk.
            “Mang, punteun sagelas deui.” Pesanku yang lantas disambut anggukan tukang cendol dengan gembira.
            “Tong ngarepotkeun, Zal.” Tutur Idan sungkan.
            Aku kembali tersenyum, “Tidak. Kita ngobrol sebentar, yuk?”
            Beberapa saat Idan terdiam, menundukan kepalanya seakan ada yang mengganjal mulutnya untuk memulai pembicraan. Suasana seolah menjadi hening di tengah keramaian Pasar Padalarang dan deru suara kendaraan yang tak henti-hentinya.
            Aku berusaha memecah keheningan.
            Dengan hati-hati aku bertanya, “Nggg... Dan, maaf ya. Aku boleh tau, kenapa sekarang kamu menjadi seperti ini?”
            Idan menoleh ke arahku, “It... it... itu...” suaranya terbata, tercekat di kerongkongan. Lalu menundukan kepalanya lagi.
            Aku ikut bersedih. Ku sandarkan kepalaku di atas tangan yang sengaja aku kepalkan. Dari sudut mataku, kulihat matanya meneteskan air mata.
            “Beginilah aku sekarang, semenjak kedua orang tuaku tewas terbunuh...” tuturnya lirih lantas menghembuskan nafas panjang.
            Aku tersentak kaget, innalillahi wa inna ilaihi rojiun...
            “Aku jadi selalu kesepian di rumah. Tak ada siapa-siapa lagi disana, kecuali Abangku, Dedi. Kamu masih ingat kan dengan dia?”
            Aku mengangguk. Aku masih ingat kalau Bang Dedi itu memiliki tabiat yang sangat buruk.
            “Sebenarnya aku menyadari betul, bahwa abangku itu memang tak menyukai diriku. Dia seolah ingin aku pergi. Hingga suatu hari,..”
            “Ieu, jang!” suara tukang cendol memotong cerita Idan.
            “Terima kasih, Mang. Simpan saja dulu.” Kataku, “Teruskan, Dan.” Pintaku padanya kemudian.
            “Aku... difitnah sama Bang Dedi. Tanpa sepengetahuanku dia sengaja menyembunyikan sepuluh butir ekstasi di dalam tasku sewaktu mau berangkat sekolah. Ketika tiba disana ternyata ada raziaan yang dilakukan oleh guru-guru. Aku yang tak tahu ada ekstasi di tasku, dengan ringan mempersilahkan Pak Luhur yang Guru Agama itu untuk memeriksa isi tasku. Ketika beliau memeriksa kulihat wajahnya yang biasanya tersenyum, berubah menjadi masam dan beliau menatapku tajam.”
            Aku menarik nafas panjang, tegang.
            “Beliau... beliau...” Idan tak sanggup lagi meneruskannya.
            “Kenapa kamu tidak membela diri bahwa itu bukan milikmu?” tanyaku
            Dia tidak menjawab. Hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Aku mengerti. Aku rangkul bahunya. Berusaha untuk menegarkan dirinya yang kembali terisak.
            “Sudahlah kawan, bersabarlah.” Hiburku sembari mengambilkan es cendol untuk diminum olehnya.
            Tak lama kemudian dia bercerita kembali.
            “Setelah kejadian itu aku dikeluarkan dari sekolah dan dipenjara selama delapan bulan,” tuturnya lemas.
            Astagfirullah, batinku terasa perih.
            “Ketika aku keluar dari penjara, aku mendapati rumah peninggalan orang tuaku telah dijual sama Bang Dedi. Dia pergi sambil membawa semua peninggalan ayah dan sekarang entah dimana dia berada. Aku tak punya rumah sejak saat itu. Sementara untuk tetap bertahan disana, aku tak kuasa. Karena namaku telah menjadi buruk dimata masyarakat sana. Hidupku jadi hancur. Untuk menegakkan badan, terpaksa aku mengemis, hingga saat ini.” ucapnya pilu. Namun sekilas kudapati dari perasaanya, seakan dia telah merasa lega. Karena sebagian dari beban yang menghimpitnya telah terangkat.
            “Ujian kawan. Kamu sedang diperhatikan Allah!” hiburku kembali mencoba menegarkan jiwanya yang kembali terisak.
            Kurasakan Idan berusaha mengambil nafas panjang, agar air matanya tidak kembali terjatuh.
            Tiba-tiba terdengar suara hardikan yang ternyata datang dari seorang preman. Dia membentak Idan dengan Bahasa Sunda yang kasar dengan tanpa mempedulikan kehadiranku. Wajah Idan semakin pias. Aku tahu dia ketakutan sekali. Berkali-kali dia meminta maaf, namun preman itu seolah tak mau peduli. Dia terus membentak Idan bahkan mulai menjurus kepada penganiayaan fisik. Tangannya yang penuh tato itu dengan kasar menarik kerah pakaian sahabatku yang telah robek-robek itu. Membuat Idan kesulitan bernafas karena lehernya tersekat kerah baju. Dia memelas meminta ampun. Dan Idan mulai menangis kala preman itu menjengut rambutnya lalu menyumpah serapahinya.
            Aku sebagai sahabatnya, tentu tak tega melihat Idan diperlakukan semena-mena. Kupejamkan mata sejenak. Berdoa supaya diberi kekuatan olehNya. Aku menarik nafas panjang, lantas aku bangkit dari tempat dudukku.
            “Kak, maaf. Idan sahabat saya. Jangan perlakukan dia seperti itu.”  Ucapku sambil berusaha untuk tetap tenang.
            Preman gondrong yang hendak pergi itu menghentikan langkahnya. Dia dengan liar menatap ke arahku. Mendadak dia mulai mencaci maki diriku. Dengan maksud agar tidak ikut campur. Aku masih berusaha untuk tetap tenang dan tidak membalas caci makinya. Sebab aku tahu, ada malaikat di sampingku yang akan membalaskan untukku bila aku tidak membalas caci maki preman itu.
            “Jangan perlakukan Idan seperti itu, kang.” Aku mengulangi perkataan yang tadi.
            Preman gondrong itu semakin marah, geram, “Ari maneh! Rek ngalawan? Kadieu wani mah!!” tantangnya, lantas melangkah kehadapanku.
            Ketika dia berdiri di mukaku, karena tinggi badanku setara dengannya. Kulihat dari sorot matanya menyemburkan api yang penuh tantangan, api yang penuh dengan kemarahan, api yang meremehkanku.
            Hatiku panas pula. Tanganku mengepal dan urat-urat disekitanya mulai mengeras dan menonjol. Ku tetap berusaha untuk tetap tenang, walau kemarahan juga meliputi jiwaku, aku tetap tidak mau memulai perkelahian. Innallaha ma asshobirin, ya Rizal... bisik hatiku.
            Sementara kahlayak ramai mulai cemas, menanti apa yang akan terjadi. Tapi tidak ada satupun diantara mereka yang berusaha untuk menengahi. Mereka terlalu takut.
            Lantas terdengar olehku dengar suara lirih Idan, “Udah kang! Abdi uih.” tuturnya kepada preman itu. Idanku, sahabatku yang baik, masih berusaha untuk mengucapkan selamat tinggal kepadaku dan berterima kasih karena telah  sudi mendengar rintihan hatinya. Dia mengerti bahwa bila seandainya terjadi perkelahian diantara kami, akibatnya akan fatal. Lalu dia mengajaknya pergi. Namun preman itu tetap saja menunjuk-nunjukkan jarinya kearahku seolah mengisyaratkan bahwa semuanya belum berakhir. Sambil memaki-maki gak karuan dia membalikkan badan dan berjalan pergi.
            Tak mau lama aku berdiri disitu. Setelah membayar es cendol, aku beranjak pergi sambil terpikir olehku tentang Idan. Kawanku yang kehilangan pelita cahaya. Tapi aku lihat dari sorot matanya saat dia pergi tadi, tersimpan setitik cahaya walau temara nan redup.

[hd gumilang]

0 comments:

Posting Komentar