Sayup-sayup terdengar celotehan tiga orang cowok yang lagi asyik ngobrol.
“Men! Gue punya story, neh!” tandas Surya membuka percakapan.
“Alaaah! Pastinya ngegosip, deh! Eh, Sur! Ane udah bosen sama gosipan ente. Saban hari bawaannya gosiiiip mlulu! Tau gak ente, nih kuping lama-lama bisa belel tau!” cerocos Afrizal ngasih tanggapan.
“Dia mungkin benar kawan! Gak baek lah kalo kita ngegosip! Jangan deh kalo kita niru anak-anak cewek sana!” timpal Nuruzi sambil tangannya menunjuk ke arah cewek-cewek yang ketawa cekakakan saking asyiknya ngerumpi.
Surya manyun...
“Ya udah! Daripada broken! Betternya sih ke kantin aja!” ucap Surya kemudian, “Zi, traktir kita, ya?” sambungnya sambil cengir kuda. Nuruzi tersenyum simpul.
***
Sepulang sekolah, setelah shalat Dzuhur. Mereka bertiga tak langsung pergi. Melainkan beristirahat sejenak di mesjid sekolah.
“Friend, gue kayaknya perlu ngomong sama lo berdua, deh!” lagi-lagi Surya yang membuka percakapan.
“Ane cuma berharap ente gak ngomongin gosip!” sahut Afrizal tak acuh sambil mengikat tali sepatunya.
“Ah, nggak! Bukan itu, men!” ucap Surya ngeles.
“Silahkan aja, Sur! Kalo kamu mau bicara. Kita berdua InsyaAllah bakal mendengarkan dengan seksama.” kata Nuruzi bijak, lalu duduk dengan rapi.
“Ho... oh! Sok aja ente ngomong. Ane bakal ngebandungin dengan seneng hati. Toh ane juga tau ente itu gimana,” Afrizal narik nafas sebentar, lalu mendekati keduanya, “Ente kan bicaranya apa adanya. Blak-blakan. Orang yang optimistis, Sur! Kalo ane kan pemuda yang realistis, jadi ngusahain ngertiin pembicaraan ente, deh! Juga ente Zi, cowok yang bijak. Makanya sok atuh kalo ente mo ngomong, Sur.” tambahnya panjang lebar.
“Iya, mudah-mudahan kita semua dapat mengambil manfaat dan hikmahnya.” ucap Nurizi pula.
“Oh, thanks! Men! Thanks banget!” sorak Surya, “Jadi begini, men. Hmm, gini... gue, suka sama anak kelas 11 yang namanya Wiwin! Gue suka ama dia. Suka banget! Dia itu, aduh... gimana ya, bagai bidadari turun dari surga!” cetus Surya berbinar-binar. Afrizal dan Nuruzi diam. Dalam hati keduanya kaget. Hah Wiwin? Wiwin yang anak Rohis itu
Jelasnya kedua temen Surya kaget. Bagi Afrizal tentu kaget soalnya dia sama Wiwin satu kampung dan tentunya sering seangkot bareng. Dan buat Nuruzi?? Wiwin itu se-ekskul sama dia. Pastinya sering ketemu untuk berdiskusi dan bertukar fikiran. Lantas mengapa keduanya diam ketika Surya curhat kepada mereka??
Ternyata mereka berdua juga suka sama Wiwin! Ya sekali lagi, sama Wiwin yang pinter, Wiwin yang sekretaris OSIS itu, Wiwin yang juara umum program IPA, Wiwin yang shalehah dan berakhlak mulia, dan tentunya Wiwin yang cantik itu.
“Jadi gimana, men?” suara bariton Surya memecah lamunan keduanya.
“Oh... nggak?! Gimana ya?? Ane gak bisa komentar euy, Zi, ente punya komentar?” jawab Afrizal kaget-kaget.
“Aku juga demikian. Ya mungkin... hmm ini cinta. Ya, cuma itu. Eh, udah telat nih, kita pulang yuk!” pungkas Nuruzi.
***
Semenjak kejadian itu, mereka bertiga jarang terlihat bersama lagi. Kadang Surya yang tak ikut, kadang pula Afrizal yang tak menyertai. Yang setia menemani salah satu antara keduanya hanya Nuruzi. Afrizal mulai menaruh curiga kepada Surya. Semula Surya tak menanggapi. Namun karena panas sebab sering kali ucapannya tak diacuhkan oleh Afrizal, maka mulailah Surya tidak suka akan sikapnya. Seringkali saat keduanya bertemu, jarang bertukar kata. Dan Nuruzi menyadari hal itu. Sebagai sahabat sekuat tenaga dia berusaha menjadi jembatan penghubung silaturrahim diantara keduanya. Dia tak ingin persahabatan ini retak. Ya, tak ingin retak. Sekali lagi, tak ingin retak!!
***
Seminggu sudah berlalu dan keadaan masih belum berubah. Bahkan semakin parah. Afrizal dan Surya saling memergoki kertika keduanya sedang berusaha mendekati Wiwin untuk mengungkapkan cintanya masing-masing. Dan kemarahan Afrizal semakin memuncak setelah cintanya ditolak oleh Wiwin dengan sebuah ucapan singkat dari gadis itu, “Maaf Kak! Wiwin gak bisa!” apalagi selang beberapa menit kemudian muncul Surya yang dengan pedenya nembak Wiwin dihadapan hidung Afrizal...
“Win, hmm... aku mau ngomong ma kamu! Hmm, kalo aku... cinta sama kamu!” tembaknya sambil berusaha sopan.
Wiwin diam, bingung. Sebab baru tadi aja dia ditembak Afrizal. Sementara Afrizal jelas panas! Bak disiram api, matanya melotot. Tanpa banyak tingkah, dia merenggut kerah Surya sampai terangkat.
“Eh, lo! Ngapain sih maen pepet aja! Lo gila apa, gue kan lagi ada urusan sama dia!” teror Afrizal berapi-api.
“Eh, ngapain nih! Lo ngajak berantem nih! Rese banget sih lo! Gue yang ada urusan ma dia! Ngerti lo! Sana lo, minggat!” balas Surya tak kalah panas.
“Ape lo bilang? Gue yang ada urusan! Nih!”
“Duuk!!” tiba-tiba sebuah pukulan meluncur ke muka Surya dengan telak. Kemudian surya membalas tak kalah beringas. Wiwin berusaha melerai. Tapi sia-sia. Darah mengucur deras dari kedua hidung sahabat itu.
“Baak! Buk! Buuk! Duuk! Shaat!!” adu pukul dan tendang tak terelakan.
“Toloong!! Toloong!!!” teriak Wiwin histeris. Percuma, anak-anak sudah pada pulang. Suasananya sepi.
Tapi beruntunglah disaat yang genting itu Nuruzi muncul! Sehabis mencari mereka berdua keliling sekolah. Ketika melihat adegan itu, serta merta Nuruzi berlari menghampiri.
“Heey!! Stop!! Berhenti!!!” teriak Nuruzi berusaha memisahkan. Dapat! Dia berhasil merangkul Surya. Sementara Afrizal masih berusaha menyerang. Namun secepat kilat Nuruzi membalikkan punggung dan dijadikannya tameng. Disaat yang bersamaan Surya beusaha melepaskan diri.
“Lepasin, Zi! Gue belum selesai sama kunyuk ini!” sungut Surya geram.
“Sur, tenang! Apa-apaan kalian ini?! Insyaf! Istigfar! Kalian ini sahabat!” Nuruzi mencoba meneangkan sambil mencegah Afrizal untuk menyerang Surya dengan tangannya yang satu lagi.
“Surya! Afrizal! Lihat aku, ada apa sebenarnya?” tanya Nuruzi pada keduanya. Sementara matanya siaga mengawasi gerak mereka.
Syukurlah Afrizal dapat menahan diri.
“Hos... hos! Ok, ok! Ane tenang!” seraya mengelap darah dari hidungnya. Begiu pula dengan Surya.
“Lepasin!” pintanya kasar. Nuruzi pun melepaskannya. Sementara Wiwin diam mematung, terisak.
Setelah yakin kedua sahabatnya mampu menguasai emosi, Nuruzi melangkah menghampiri Wiwin dan bertanya.
“Win, sebenarnya apa yang terjadi? Beritahu Kakak!”
Gadis berkerudung itu masih terisak.
“Wiwin, tolong beritahu kakak tentang kejadian yang sebenarnya?” Nuruzi mengulang pertanyaan dengan hati-hati.
Lalu dengan terbata-bata gadis itu mulai membuka suaranya, “Hik... hik... Kak Zi, mereka berdua... mau... mau... nembak... Wiwin...”
“Dan dia menolakku! Jelas aku marah!” potong Afrizal disisa-sisa kemarahannya.
“Hahahaha...” tawa Surya terdengar bagai sebuah ejekan. “Cintanya ditolak! So, gue berhak dong ngambil alih buat nembak dia.” lanjutnya sambil memandang Afrizal, penuh kebencian. Kedua mata sahabat itu kembali bersirobok, berisap-siap berkelahi lagi.
“Diaaaammm!!!” bentakan Nuruzi begitu keras. “Tidak malukah kalian pada gadis ini, kalian mengharapkan cintanya namun kalian juga malah mengorbankan silaturrahim kalian! Sekarang diam! Dengarkan penjelasan Wiwin!” tegurnya keras. Nuruzi memandang Wiwin, memintanya untuk melanjutkan penjelasan yang tadi. Sayang, Wiwin tak sanggup lagi. Dia menatap ke arah Nuruzi seolah memintanya menyampaikan apa yang seharusnya dia sampaikan kepada mereka. Dan Nuruzi mengerti.
“Kak Zi...” ucapnya lirih.
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya lalu ia berlari meninggalkan mereka. Diantara tangis dan larinya itu, membuncah percikan butir-butir mutiara kristal yang menetes.
Suasana seketika hening. Sementara angin sore berhembus pelan...
Afrizal menepuk pundak Nuruzi dan berucap, “Zi ceritakan pada kami.” pintanya.
Pemuda berkacamata itu menarik nafas panjang, berusaha tenang. Surya, pemuda yang berbadan atletis sudah duduk di bangku dekat koridor.
“Di sini aja.”
Afrizal menoleh ke arahnya, angin sepoi menerpa rambutnya yang ikal.
“Jadi begini...” Nuruzi mulai berbicara, “Wiwin... heh... sudah ditunangkan oleh ortunya...”
Surya dan Afrizal tercengang, “Dari mana ente tau?” tanya Afrizal penuh selidik.
“Sahabatku, dulu, aku juga mencintai Wiwin! Hingga tiba suatu hari saat aku mengutarakan cinta kepadanya, dia menolak. Ketika ku memaksanya untuk mengungkapkan apa yang membuat dirinya menolakku, dia berucap ‘aku udah dijodohkan oleh orangtuaku.’ Semula aku tak percaya. Namun akhirnya aku mempercayainya setelah aku memberanikan diri bertanya kepada orangtuanya. Sejak saat itu pula, aku menyadarinya, kini, cintaku padanya adalah cinta sesama muslim. Dan aku menyadari bahwa justru cinta inilah yang lebih mulia. Maafkan aku...” ceritanya panjang lebar.
“Jadi...?” kalimat Surya penuh tanda tanya.
“Ya, aku mengorbankan cintaku padanya, supaya tali silaturrahim diantara kita tak terputus. Sahabatku, ku mengerti kadang cinta itu indah tetapi tidak selamanya cinta itu membawa kebahagiaan. Cinta yang didasari oleh persaingan dan kebencian hanya akan membawa kepada kehancuran. Demi Allah aku gak ingin persahabatan kita seperti itu. Biarkanlah persahabatan kita dilandasi oleh cinta sesama muslim, cinta karena Allah. Dan, untuk kejadian ini, lupakanlah tapi ingatlah sebagai suatu pelajaran, bahwa persahabatan pun bak gading yang retak.” Nuruzi mengakhiri ucapannya bersamaan dengan Adzan Ashar yang berkumandang. Kini mereka menyadari semuanya, dan berjanji tuk tak dibutakan lagi oleh nafsu belaka.
HD Gumilang
0 comments:
Posting Komentar